REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penelitian terbaru mendapati hubungan kuat antara sistem imun dan gangguan kecemasan yang bisa diidap seseorang. Tim dari Universitas Washington di Amerika Serikat secara khusus mengeksplorasi molekul imun bernama IL-17.
Sebuah eksperimen mendemonstrasikan interaksi antara molekul tersebut dengan neuron di otak. Ternyata, interaksi itu bisa memengaruhi munculnya perilaku gejala gangguan kecemasan pada tikus percobaan.
Selanjutnya, tim ingin mengeksplorasi bagaimana efek molekul pada kecemasan manusia. Penulis utama studi, Kalil Alves de Lima, menyampaikan hipotesis bahwa stimulasi berlebihan dapat menyebabkan kecemasan dan depresi pada manusia.
Dia menjelaskan, IL-17 masuk dalam kategori sitokin, molekul pemberi sinyal yang mengatur respons imun terhadap infeksi. Istilah itu cukup familier belakangan ini, mengingatkan pada badai sitokin yang kerap dialami pasien Covid-19.
Beberapa penelitian awal telah menghubungkan tingkat IL-17 yang tinggi dengan kecemasan dan depresi pada manusia. Alves dan timnya menyadari bahwa sel kekebalan di jaringan otak, termasuk sel T gamma delta (gdTcells), juga menghasilkan IL-17.
Untuk melihat bagaimana komponen itu memengaruhi perilaku, tim memodifikasi tikus menjadi kekurangan gdTcells atau IL-17. Kemudian, melakukan serangkaian tes untuk mengevaluasi memori, perilaku sosial, kebiasaan makan, dan kecemasan.
Tikus yang kekurangan komponen tersebut tampak sama dengan tikus dengan kondisi normal, kecuali pada area kecemasan. Saat diberi pilihan memasuki area terbuka, tikus "normal" menempel di sisi pelindung kandang, berbeda dengan tikus yang 'dimodifikasi'.
Alves menjelaskan, ini artinya gdTcells dan IL-17 membuat tikus terus-menerus memonitor sinyal lingkungan. Itu membantu kesadaran dalam keadaan waspada untuk kelangsungan hidup dan menghindari risiko kemungkinan kematian.
Eksperimen lain berupa menghilangkan neuron di otak yang memiliki reseptor yang merespons IL-17 atau menyuntikkan produk bakteri pada tikus justru memunculkan respons imun yang kuat. Artinya, molekul tersebut juga memengaruhi kekebalan.
Sekarang tim sedang menyelidiki bagaimana semua ini terjadi pada manusia. Upaya lain dilakukan guna memahami bagaimana elemen-elemen ini berinteraksi dan dipengaruhi oleh peristiwa pemicu stres dan perubahan perilaku yang merugikan.
“Tujuan akhirnya selalu untuk memvalidasi dan menerjemahkan pengamatan kami ke sudut terapeutik, dan kami sekarang memulai kolaborasi untuk memiliki akses ke sampel manusia," kata Alves, dikutip dari laman Inverse, Selasa (22/9).
Laporan hasil studi telah diterbitkan di jurnal Nature Immunology. Peneliti senior lain yang terlibat dalam riset, Jonathan Kipnis, mengatakan penelitian mereka juga mencoba memahami lebih mendalam soal imunitas.
Profesor neurologi di Universitas Washington itu mengatakan, studi menunjukkan bahwa sistem kekebalan dan otak berevolusi bersama. Otak dan tubuh saling terhubung dan berkaitan, lebih dari yang selama ini disadari kebanyakan orang.
Setelah menghadapi rangsangan tertentu, ada banyak sinyal yang dikirimkan oleh sistem kekebalan ke otak untuk mengubah fungsinya. Perilaku seseorang tidak hanya tergantung pada kondisi otak, tetapi juga pada sistem kekebalan.
"Kita semua tahu bagaimana perasaan kita saat sedang sakit. Ini adalah interaksi normal antara dua sistem ketika sistem kekebalan memberi sinyal pada otak untuk 'menarik diri' saat terinfeksi," ucap Kipnis yang menjabat sebagai Direktur Pusat Imunologi Otak dan Glia di Charlottesville, Virginia.