REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Johnson & Johnson memutuskan untuk berhenti menjual krim pencerah atau pemutih kulit yang populer di Asia dan Timur Tengah. Itu dilakukan setelahnya produk tersebut dianggap tidak menjunjung kesetaraan ras.
Perusahaan akan berhenti memasarkan Clean & Clear fairness di India. Awal bulan ini perusahaan juga akan menyetop produk pencerah kulit di Asia dan Timur Tengah. Kebijakan yang diambil Johnson & Johnson mendapat reaksi beragam dari warganet. Ada yang tidak percaya, ada juga yang mendukung.
“Rasisme murni dan seksisme terhadap wanita Asia. Hak kami sebagai etnis minoritas dilanggar," tulis warganet yang berbasis di Hong Kong.
"Tubuh dia, pilihan dia " tulis warganet di Twitter. “Bisnis pemutih kulit ini sangat palsu dan menjemukan".
Warganet lain juga menyambut perubahan dari Johnson & Johnson. Menurut dia, langkah ini harus menjadi momen untuk mengubah persepsi tentang cantik.
"Ini menjadi momen untuk mengubah pola pikir, khususnya bagi mereka yang telanjur percaya bahwa kulit putih berarti cantik. Saya menyambut perubahan ini," demikian kata warganet itu.
Dalam pernyataannya seperti dilansir laman SCMP, Johnson & Johnson menyatakan bahwa krim pemutih kulit diproduksi bukan untuk membuat seseorang tidak percaya diri dengan kulit aslinya. Tujuan perusahaan adalah membuat kulit konsumen menjadi lebih sehat dan indah.
Meski Perusahaan akan menyetop produksi dan pemasaran, namun produk tersebut mungkin masih muncul di rak-rak toko sampai stok habis. Krim yang menjanjikan mencerahkan kulit dipasarkan terutama untuk wanita oleh perusahaan terbesar di dunia, termasuk Unilever, Procter & Gamble dan L'Oreal di bawah merek masing-masing Fair & Lovely, Olay, dan Garnier.
Euromonitor International mencatat ada sekitar 6.300 ton pencerah kulit dijual di seluruh dunia pada tahun 2019, termasuk produk yang dipasarkan sebagai krim anti-penuaan yang menargetkan bintik-bintik gelap.