REPUBLIKA.CO.ID,Baru-baru ini ramai dibahas di dunia maya adanya selebgram yang membahas pernikahan muda. Di usia yang sebenarnya belum dewasa itu, pasangan tersebut tetap melangsungkan pernikahan. Akibat cerita yang lantas viral itu, sempat muncul kekhawatiran kisah pasangan tersebut akan menginspirasi para pengikutnya untuk mengikuti jejak mereka.
Sejatinya, banyak hal yang harus dipertimbangkan jika pasangan muda atau berusia remaja ingin melangsungkan pernikahan. Misalnya, kesiapan kondisi ekonomi. Cukup banyak calon pasangan yang lebih memikirkan konsep pernikahan dibandingkan bagaimana keadaan pascapernikahan.
Menurut psikolog Roslina Verauli, pernikahan tidak dianjurkan untuk usia remaja. Dalam dunia psikologi, usia remaja dikategorikan sekitar 9 sampai 20 tahun.
Sedangkan, menikah di atas umur 20 tahun sangat dianjurkan. "Seseorang yang berusia di atas 20 tahun dianggap su dah memiliki kemampuan mengatasi masalah tanpa melibatkan emosi," kata dia. Hal itu merupakan salah satu indikator kesiapan menikah yang dapat mengurangi dampak ketidakbahagiaan dalam pernikahan.
Sebaliknya seseorang yang masih berumur di bawah 20 tahun disarankan menunda pernikahannya. Sebab, kata Roslina, mayoritas mereka masih ber juang menghadapi krisis identitas diri. Ditambah lagi, mereka masih me ng alami masalah dalam lingkaran pertemanan. Pun problem seputar percintaan berujung kegalauan hingga masalah dengan orang tua.
Menurut dia, semua masalah tersebut dapat berdampak negatif terhadap pernikahan yang akan berujung perceraian. Meski secara psikologis pernikahan dianjurkan ketika seseorang sudah berusia di atas 20 tahun, hal berbeda diatur dalam dalam Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per kawinan. Di dalamnya menyatakan bahwa usia minimal anak menikah adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Menurut Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga IPB Euis Sunarti, kesiapan fisik tanpa diimbangi kematangan mental akan sia-sia. Secara fisik, remaja berumur belasan tahun sudah siap menikah untuk kemudian berhubungan seksual. "Namun, (remaja belasan tahun) tidak siap secara mental, spiritual, emosi, dan sosial. Ini persoalan yang kita hadapi," kata Euis.
Remaja yang secara fisik merasa siap menikah, tetapi dilarang orang tua dikhawatirkan melakukan seks bebas. Namun, di sisi lain, apabila mereka diperbolehkan untuk menikah, ditakutkan hubungan pernikahannya tidak harmonis. Sebab, mereka belum memenuhi semua indikator kesiapan menikah.
Untuk itu, kata Euis, peran orang tua sangat diperlukan. Terutama, untuk mendorong anaknya menikah di umur yang tepat agar dapat membangun keluarga berkualitas.
"Semakin siap dan semakin baik mereka menjalankan tugas keluarga, maka semakin baik perkembangan anak dalam keluarga mereka," kata Euis. Di Indonesia, terjadi 40 kasus perceraian per jam. Sebanyak 70 persen di antaranya diajukan oleh perempuan. Menurut dia, ini adalah masalah serius karena perceraian tidak hanya memberi dampak negatif kepada anak, tetapi juga kepada ibu.