Sabtu 09 May 2020 16:08 WIB
Westerling

Film Perang Tentara Belanda di Indonesia Tayang September

Film kebrutalan militer Belanda selama perang kemerdekaan akan ditayangkan.

Tokoh pemeram utama dalam film De Oost.
Foto: film de oost
Tokoh pemeram utama dalam film De Oost.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh -- Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Dalam beberapa hari terakhir, di tengah suasana 'lock down' akibat pandemi virus asal  Wuhan, China, ada kabar yang melegakan sekaligus membuat bulu kuduk meremang. Hal itu adalah kabar bahwa peristiwa perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa perjuangan kemerdekaan, akan ditayangkan dalam waktu dekat, yakni di September 2020.

Setelah dicek di Youtube 'thriller' film yang bertajuk 'De Oost' itu sudah ada di sana. Sampai 7 Mei 2020 tayangan ini sudah 3.295 kali ditonton. Dan dalam keterangan thriller itu ada pengantar berbahasa Belanda:

  • "Dit zijn de eerste beelden van de Nederlandse speelfilm De Oost, die vanaf donderdag 10 september in de bioscoop te zien is. De film van Gouden Kalf-winnaar Jim Taihuttu speelt zich af tijdens de Indonesische onafhankelijkheidsoorlog in 1946 en vertelt het verhaal van Johan (gespeeld door Martijn Lakemeier), een jonge Nederlandse soldaat die samen met 100.000 anderen wordt uitgezonden om orde op zaken te stellen in Nederlands-Indië.''

Artinya: “Ini adalah gambar pertama dari film feature Belanda De Oost, yang dapat dilihat di bioskop mulai Kamis 10 September. Film pemenang penghargaan 'Gouden Kalf' (Anak Sapi Emas) karya Jim Taihuttu dibuat selama perang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946 dan menceritakan kisah Johan (diperankan oleh Martijn Lakemeier), seorang prajurit muda Belanda yang dikerahkan bersama dengan 100.000 orang lainnya untuk menertibkan di Hindia Belanda.''

                            ****

Semua tahu, para bapak bangsa Indonesia dahulu paham betul bagaimana sepak tentara kolonial ketika berperang di Indonesia. Misalnya sepak terjang Westerling yang merupakan komandan pasukan khusus Belanda membuat kekacauan dan pembunuhan brutal. Hal ini misalnya membuat pembantaian massal di Jawa Barat dari Rawa Gede hingga pembantaian Bandung dengan memakai sebutan yang terindikasi sebagai sebuah sandi operasi militer yang dilakukan oleh kelompok tentara kolonial yang menamakan dirinya sebagai 'Angkatan Perang Ratu Adil' (APRA).

Sayangnya aksi kebrutalan tentara kolonial yang dikomandan Westerling ini yang telah membantai rakyat di Jawa Barat hingga Sulawesi Selatan tidak dibuat. Padahal aksinya sungguh kejam. Akibat kebrutalan ini di Bandung misalnya mayat dengan luka tembak berserak di mana-mana. Dan ini tampaknya di sengaja oleh pasulan di bawah komando Westerling. Tujuannya, dengan melakukan kekerasan dan pembunuhan maka nanti akan dibalas oleh pasukan Siliwangi yang kala itu dipimpin oleh seorang tentara yang masih sangat belia, yakni AH Nasution.

Tahu dirinya tengah dipancing agar muncul, alih-alih Nasution makin rapat bersembunyi di pedalaman tatar Sunda. Nasution baru muncul ketika terjadi kesepakatan Renville di mana pasukan Siliwiangi harus mengungsi atau hijarah ke Yogyakarta. Dan di sana, ketika terjadi serah terima pasukan secara resmi dengan mengosongkan wilayah Jawa Barat dari TNI, Nasution baru menampakkan batang hidungnya di depan para perwira Belanda.

Dan ketika tahu bahwa komandang Siliwangi yang menjadi seterusnya masih bocah imut-imut mereka terkejut. Di kisahkan mereka menyebut bila dirinya sial karena berperang dengan anak yang masih sangat remaja atau sekolahan. Tak hanya perwira KNIl saja yang geleng-geleng kepala, kaum wanita yang pro Belanda kala itu juga terkejut karena meilhat komandang seterunya adalah masih sangat muda. Kata mereka:"ikh ternyata Nasution masih kayak anak sekolah'.

Namun, meski sudah melakukan kekejaman di Jawa Barat dan TNI telah mengungsi ke Yogyakarta, Raymond Westerling terus menebarkan teror. Bahkan, pusat pemerintahan RI yang kala itu di Yogyakarta memperhatikan khusus kemungkinan infiltasi pasukan Westerling. Dari laporan intelejen TNI kala itu Westerling memang tengah menyasar para pejabat RI sebagai target pembunuhan. Kekhawatiran ini tampak jelas ketika mencermati arsip berita yang kala itu dibuat oleh kantor berita Antara.

Dan, Jogja ketakutan terhadap teror Westerling. Maka sikap waspada di pasang disegenap penjuru kota. Mereka tak ingin tragedi pembantaian orang seperti yang terjadi di Bandung dan Jawa Barat tidak terjadi. Ibu kota kala itu dijaga ketat.

Tampaknya, gagal menyusup ke Jogja Westerling kemudian menyasar wilayah lain yang dianggap berkekuatan lemah tapi status penting secara politik. Maka kemudian dipilihlah wilayah Sulawesi Selatan. Tujuannya, selain membuat teror juga bermaksud memuluskan keinginan Belanda yang ingin membentuk negara Indonesia Timur. Maka operasi militer Westerling melakukan pembantaian brutal dilakukan di sana.

header img

Keterangan foto: Hijrah pasukan Siliwangi dari Jawa Barat ke Yogyakarta (wilayah RI).

Pada sisi lain,  fllm ini terasa pas dengan 'kaca mata' Belanda yang memang sampai sekarang tetap menganggap bahwa perang yang dilakukannya para periode antara 1945-1950 adalah tindakan 'polisionil' atau penertiban. Dari kaca mata Belanda peperangan kala itu dinilai sebagai aksi kerusuhan belaka yang terjadi di dalam negara yang menjadi koloninya. Atau, dalam kata lain berbeda dengan keyakinan Indonesia bahwa perang itu merupakan perjuangan kemerdekaan.

Dan sayangnya, sekali lagi soal kebrutalan tentara kolonial di Rawagede, Bandung, dan Sulawesi Selatan tanda-tanda tak terlihat dalam thriller film 'De Oost ini.' Malahan, kalau melihat pada thriller film ini sekilas 'De Oost'  mirip sebuah film legendaris tentang keterbelahan mental prajurit Amerika Serikat dalam perang Vietnan: Platoon. Dan meiihat cara ekspresi dan sosok pemain utamanya sepertinya tak jauh beda sosok utama dalam film itu. Dan pesan film ini tampaknya sama saja atau klasik: Selain membuat sengsara, perang banyak pula membuat orang sakit jiwa!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement