REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penata busana Chitra Subyakto membagikan cara sederhana agar tidak terjebak fast fashion yang bisa berdampak buruk pada lingkungan. Fast fashion adalah istilah dalam industri tekstil, merujuk pada gaya mode yang silih berganti dengan cepat.
"Sebenarnya simple banget kok, kalau bisa beli pakaian paling enggak minimal dipakai dan disimpan sampai sembilan bulan. Itu sudah mengurangi emisi karbon sampai 10 persen," ujar pemilik label busana Sejauh Mata Memandang tersebut.
Pada bincang santai "Cabin Fever" besutan Miles Films, Kamis (7/5), Chitra menyampaikan bahwa rata-rata produsen yang mengusung konsep fast fashion memiliki 48 tren busana dalam setahun. Setiap pekan, selalu ada koleksi busana teranyar.
Hal tersebut ditambah lagi dengan kecenderungan konsumen di era media sosial. Ada orang-orang tertentu yang sangat memperhatikan citra visual sehingga tidak mau mengenakan busana yang sama di setiap postingan akun media sosial.
Menurut Chitra, perilaku demikian bisa berimbas buruk pada lingkungan, mengingat industri tekstil memproduksi limbah dalam jumlah besar. Dia menganjurkan untuk berpikir matang-matang saat akan membeli pakaian.
Pikirkan apakah pakaian itu bisa dikenakan dalam waktu lama, bisa dipadupadankan dengan busana yang sudah dimiliki, atau bahkan bisa diwariskan. Sangat baik jika membeli busana yang punya arti, seperti produk yang memberdayakan masyarakat.
Kain tradisional lawas yang didapat dari orang tua atau kakek-nenek juga bisa dikombinasikan dengan busana kekinian. Chitra menyarankan untuk memakainya sebagai tambahan aksesoris atau sebagai selendang yang melindungi dari cuaca panas dan dingin.
"Bicara tradisi, pasti ada kata ribet pakai kain, ribet upacara, tapi itu semua justru sesuatu yang perlu tetap dijaga supaya tidak kehilangan jati diri sebagai Indonesia. Tradisi Indonesia yang beragam indah banget, itu yang bikin kita kuat," kata Chitra.