Rabu 01 Apr 2020 06:23 WIB

Begitu Pedulinya Sultan Abdul Hamid ke Rakyat Aceh

Kekhalifahan Utsmaniyah menekan Belanda agar mengizinkan rakyat Aceh pergi haji.

Poster film Payitaht Abdülhamid.
Foto: @payitahtTrt1
Sultan Abdul Hamid dan Tahsin Pasha

Berikutnya, Abdul Hamid mengajak Tahsin untuk menuju ruang kerja di bawah tanah di Istana Yildiz di Kota Istanbul. "Hunkarim, Belanda tidak hanya mencegah Muslim Aceh untuk pergi berhaji. Mereka bilang pada rakyat Aceh untuk menghilangkan simbol bulan sabit dari benderanya. Mereka melarang membacakan khutbah atas nama Khilafah Utsmaniyah. Meskipun begitu, Muslim Aceh bilang, 'Kami bersumpah untuk tetap setia pada Khalifah kami, kami tidak akan mematuhi apa pun larangan (Belanda)'," ujar Tahsin.

Abdul Hamid sembari memegang tongkatnya seketika membuka peta dunia di dinding yang berada di salah satu ruang kerjanya. "Orang-orang di tengah lautan mempercayai Allah dan utusannya, mematuhi kita, kita harus membantu mereka sebanyak yang kita bisa."

Tahsin merespon, "Tapi sepertinya kita tidak bisa. Hunkarim yang paling penting sekarang bukankah (rakyat Aceh) bisa pergi haji?"

Abdul Hamid menjawab, "Itulah mencapainya ke sana. Kita mengurus jalur kereta api karena alasan ini, Pasha. Jalur kereta api dari Istanbul ke Hijaz. Dari sini menuju Baghdad dan India, dari sana ke Pulau Aceh."

"Malangnya Hunkarim, sekarang kita tidak bisa melakukan apa pun mengenai orang di Aceh yang ingin pergi haji. Hati saya hancur Hunkarim. Keduanya, Inggris dan Jerman bilang kalau mereka mundur dari tender jalur kereta api. Meskipun kita mencoba, tidak ada yang terjadi Hunkarim."

Abdul Hamid pun mengambil buku. Dia membuka buku dan mengambil lembaran dokumen. "Pasha, Pasha! Jangan berhenti berharap. Bermimpi lah! Sepanjang mimpi itu ada, mimpikan Pasha! Orang-orang dari Aceh, India, Afrika, Uzbekistan, Kirgistan, Bosnia-Herzegovina, Albania, Turki, Kurdi, ketika mereka mengelilingi Kabah, mereka berbisik satu sama lain. Saudaraku! Saudaraku bersatulah! Semua jenis pertengkaran, peperangan, permainan kotor dicegah dan diubah menjadi semangatnya, hatinya, kepercayaannya, itu lah Islam. Kapan ketika kita memahami satu sama lain, kapan ketika kita memeluk satu sama lain. Kita akan mengibarkan bendera Islam yang jatuh, mereka akan mengatakannya," ucap Abdul Hamid semangat.

"Insya Allah Hunkarim," ucap Tahsin. "Tapi kita tak bisa membawa saudara kita di Aceh ke Makkah?" lanjut Tahsin.

"Kita akan membawanya Pasha, kita akan membawanya," ucap Sang Sultan merespon cepat.

Abdul Hamid pun mengambil selembar kertas. "Dokumen (ini) yang menghancurkan bangsa Eropa, Pasha! Inggris, Jerman, Denmark, Swedia, Belanda, Rusia, Spanyol, meskipun pemerintahannya terpisah, mereka semua anggota dari bangsa yang sama, mereka datang dari keluarga yang sama."

Tahsin terkejut berujar, "Bahkan Inggris, di mana di sana ada demokrasi, semuanya memilih penguasa dari keturunan yang sama?"

Abdul Hamid melanjutkan, "Namanya berubah, tapi keturunan tidak. Semua bangsa Eropa mengaturnya seperti ini, Pasha. Di sini ada bukti keluarga Kerajaan Belanda yang hilang."

"Saya tidak mengerti, Hunkarim?" ucap Tahsin.

"Suatu ketika, anak Napoleon (Bonaparte) mengurus Belanda, lalu Wilhelm VI datang sebagai cucu dari dinasti sebelumnya, dia datang ke penguasa Kerajaan (Belanda). Tapi Wilhelm VI adalah anak yang diambil dari panti asuhan. Inilah buktinya," kata Abdul Hamid menjelaskan masa ketika Prancis menduduki Belanda.

"Hunkarim informasi ini akan mempengaruhi semua keluarga di Eropa, terutama orang Inggris yang bekerja sama dengan Belanda mengenai koloni (tanah jajahan)," kata Tahsin.

"Panggil perwakilan Belanda!" kata Abdul Hamid dengan nada tegas.

Legasi atau semacam perwakilan pemerintahan Kerajaan Belanda yang bertugas di Istanbul pun menghadap Sultan di Istana Yildiz. Abdul Hamid berkata, "Dunia bisa lebih panjang, tapi tidak dengan kehidupan."

Dokumen itu langsung diserahkan Tahsin ke legasi Belanda yang berbaju rapi mengenakan jas dan topi. Mukanya seketika pucat dan berujar, "Ini artinya, saya dan keluarga Kerajaan Belanda berasal dari keturunan seorang anak yatim piatu?" kata sang pejabat Belanda itu.

"Pikirkan. Akan memberikan pengaruh apa dokumen yang membuatmu khawatir ini?" jawab Abdul Hamid lugas.

"Tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi," ucap sang pejabat Belanda menunjukkan rasa ketidakpercayaan setelah membaca dokumen kelahiran raja yang dilayaninya.

Abdul Hamid menukas, "Napoleon memberimu hadiah keluarga kerajaan palsu ketika dia meninggalkan Belanda."

Sang pejabat Belanda itu pun tanggannya gemetar.

Abdul Hamid pun langsung mengancam utusan Belanda untuk sekaligus menyelesaikan dua masalah yang dihadapi Kekhalifahan Utsmaniyah, yaitu terkait tender kereta jalur Hijaz dan permohonan rakyat Aceh.

"Kamu akan menekan Inggris yang telah bekerja sama denganmu mengenai koloni. Kami punya masalah kecil dengan mereka. Mengenai jalur kereta api, untuk jalan sejauh 150 kilometer. Tidak perlu marah dengan Kesultanan Utsmani, kami akan mengatakannya. Kamu telah melarang Muslim Aceh untuk pergi haji. Kamu melarang mereka untuk pergi ke masji. Aku putra dari Khalifah Islam Abdulmejit Khan, Sultan Abdul Hamid Han. Aku seorang Khalifah dan aku melayani kaum Muslim. Ini kewajibanku," ucap Abdul Hamid sambil memandang marah ke utusan Kerajaan Belanda tersebut.

Dia melanjutkan, "Aku bisa mati, tapi aku tidak akan mundur! Kamu akan membangun perusahaan di Aceh. Kamu akan mengirim Muslim Aceh untuk pergi haji ke Makkah menggunakan kapal dengan harga murah. Mengerti?"

"Saya mengerti setiap perkataan yang Sultan katakan," begitu respon pejabat Belanda itu.

Sultan Abdul Hamid pun meminta orang itu pergi dan mengerjakan perintah melobi Inggris untuk ikut membantu pembangunan kereta Jalur Hijaz dan membuka perusahaan yang melayani pelayaran untuk membawa orang Aceh bisa pergi haji ke Makkah dan Madinah.

"Alhamdulillah," Tahsin merasa lega.

Berkat kepiawaian berpolitik tersebut, akhirnya proyek kereta jalur Hijaz yang membentang dari Istanbul, Turki ke Hijaz, Arab Saudi terselesaikan pada 1908, dan rakyat Aceh dibolehkan pergi haji oleh Belanda, yang di saat bersamaan menekan Inggris.

Mengacu hal tersebut, Kekhalifahan Utsmaniyah jelas sangat peduli dengan nasib rakyat Aceh, meski keduanya terpisah jarak ribuan kilometer. Hanya saja, nasib keduanya memang berakhir tragis. Sepeninggal Abdul Hamid, Kekhalifahan Utsmaniyah mulai goyang hingga harus dibubarkan oleh kelompok Turki Muda yang didukung pemerintah Inggris. Sementara Kesultanan Aceh juga harus menerima kekalahan dari penjajah Belanda yang dibantu pasukan londo ireng.

Semoga kita bisa memetik pelajaran berharga dari sejarah dua kesultanan Islam ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement