REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kanker leher rahim (serviks) merupakan kanker terbanyak keempat yang terjadi pada wanita di dunia, dengan estimasi 527.624 kasus baru dan 265.672 kematian pada 2012. Berdasarkan data Globocan 2012, kanker serviks di Indonesia masih menjadi masalah utama bagi wanita dan merupakan kanker kedua tertinggi dalam jumlah kasus yang ditemukan maupun kematian yang diakibatkan secara langsung atau tidak.
Tingginya angka penyintas kanker serviks, tidak semata disebabkan oleh rendahnya kesadaran perempuan dalam melakukan deteksi dini. Minimnya akses dan alat deteksi dini yang bisa mendeteksi sel kanker pada stadium rendah bahkan pra-kanker juga menjadi kendala.
Sebagai solusi, Perkumpulan Keluarga Trisakti (Perkatri) memperkenalkan aplikasi Artificial Inteligence (AI) Cytoscanner yang memungkinkan skrining sitologi atau pap smear dilakukan secara cepat. Alat ini merupakan inovasi dari para ahli kanker serviks di Wuhan, China dan telah diterapkan di Kanada, Amerika Serikat, China dan beberapa negara lainnya. Pascaditerapkannya alat ini, kematian akibat kanker serviks mengalami penurunan mencapai nol di daerah Hanan, Wuhan.
“Sebenarnya alat ini merupakan pengembangan dari pap smear. Hanya saja, ini pap smear dalam jumlah masal,” kata Ketua Umum Perkatri sekaligus dokter spesialis patologi anatomi dr Reza Aditya Digambiro usai seminar di kawasan Gatot Soebroto Jakarta, Rabu (22/1).
Reza menjelaskan, fungsi utama Cytoscanner adalah untuk memindai sel pada metode pap smear. Secara teknis, mulanya tenaga kesehatan akan mengambil sampel sel pada leher rahim perempuan, kemudian dipulas, dan alat ini akan memindai sel-sel tersebut untuk mendeteksi apakah ada sel abnormal atau tidak. Jika ditemukan sel abnormal maka peserta skrining akan diperiksa lebih lanjut oleh dokter spesialis patologi.
Menurut Reza, alat ini sangat ideal diaplikasikan di daerah dengan jumlah populasi penduduk tinggi, namun jumlah tenaga ahlinya terbatas. Alat ini bisa melakukan pemindaian sebanyak ratusan ribu orang dalam satu hari dengan kepekaan di atas 85 persen.
Sementara itu, jika skrining dilakukan secara manual, seorang patolog maksimal hanya mampu memindai 100 orang per hari dengan kepekaan antara 42 hingga 73 persen.
“Kami melihat 20 peserta skrining masih oke, tapi kalau sudah peserta skrining ke 200 apakah mata masih oke? Kan mungkin siwer. Jadi sangat ideal skrining dibantu alat ini,” kata dia.
Hingga kini, menurut Reza, Cytoscanner baru ada di Rumah Sakit Dharmais saja. Idealnya, setiap provinsi memiliki satu alat CytoScanner sehingga deteksi dini kanker serviks semakin optimal. Untuk itu, dia berharap ke depannya kesadaran deteksi dini kanker serviks kian meningkat.