REPUBLIKA.CO.ID, Pura-pura bahagia dan memaksakan diri untuk selalu terlihat gembira ternyata justru berdampak buruk. Studi terbaru yang digagas Julia Vogt mengungkap, orang-orang yang mengagungkan kebahagiaan cenderung menunjukkan tanda-tanda depresi.
"Saya baru saja menemukan sesuatu yang menarik, bahwa orang yang ingin bahagia sebenarnya adalah orang-orang yang tidak bahagia," ungkap Vogt, seperti dikutip dari laman The Guardian. Nyatanya, tidak sedikit orang yang terus mengejar kebahagiaan.
Menurut dia, kesejahteraan mental tidak sama dengan obsesi terhadap kebahagiaan. Sayangnya, media sosial dan industri kebahagiaan saat ini kurang membiarkan seseorang untuk menjalani kehidupan dengan pemikiran yang berkembang.
Bahasan sama diamati oleh penulis Will Davies dalam bukunya, The Happiness Industry. Industri menjadi sarana manajemen perilaku di pihak pemerintah dan perusahaan swasta guna memastikan masyarakat yang lebih fleksibel, produktif, dan menguntungkan.
Psikolog Paul Bloom memandangnya sebagai sarana optimasi diri. Artinya, pemberdayaan pribadi setiap individu dalam skala kecil yang berlangsung seiring dengan pemberdayaan sosial dengan skala yang jauh lebih besar.
Padahal, kebahagiaan tidak bisa menjadi sebuah tujuan. Perasaan itu merupakan produk sampingan dari tujuan lain. Mencari kebahagiaan sama seperti mencoba tampil keren. Semakin seseorang memaksakan diri untuk mencapainya, dia akan semakin berjarak.
Filsuf Aristoteles semasa hidupnya berpendapat bahwa manusia sepanjang hidupnya menginginkan sesuatu yang disebut "eudaimonia". Istilah itu sering diterjemahkan sebagai kebahagiaan, tetapi sebagian lain mengartikannya sebagai makna hidup yang berkembang.
Sang filsuf mengatakan, keinginan manusia terhadap "eudaimona" terjadi secara alami. Sesuatu itu bukanlah sebuah tujuan atau target yang bisa dicari dan ditemukan, tetapi hal yang bisa dicapai jika manusia menjalani hidupnya dengan baik.