Rabu 01 Jan 2020 02:55 WIB

6 Hal Pemicu Kanker dalam Satu Dekade Terakhir

Penggunaan Vape ternyata mampu memicu kanker seperti halnya rokok konvensional

Rep: Gumanti Awaliyah / Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja menata botol berisi cairan rokok elektronik (vape). Penggunaan Vape ternyata mampu memicu kanker seperti halnya rokok konvensional
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Pekerja menata botol berisi cairan rokok elektronik (vape). Penggunaan Vape ternyata mampu memicu kanker seperti halnya rokok konvensional

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam satu dekade terakhir peningkatan jumlah pasien kanker cukup signifikan. Mengacu pada data International Agency for Research on Cancer, World Health Organization (WHO) tahun 2018 dilaporkan terdapat 18 juta kasus kanker baru dan menyebabkan kematian pada 9,6 juta pasien kanker di dunia.

Kanker pada dasarnya adalah hasil dari mutasi genetik dalam DNA manusia. Sel-sel mulai tumbuh dan membelah secara tidak terkendali dan akhirnya menyebar ke seluruh tubuh ketika mereka mulai tumbuh dalam bentuk tumor. Terkadang penyakit mematikan ini juga dapat menyebar karena mutasi genetik yang diwariskan.

Times of India pada Rabu (1/1) melaporkan bahwa peningkatan jumlah penderita kanker di dunia dipicu oleh berbagai hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, sebagai berikut.

1. Polusi

Tidak dapat disangkal bahwa kualitas udara yang buruk menjadi pemicu beragam penyakit termasuk kanker. Kualitas udara yang memburuk dari kota-kota metropolitan telah menjadi perhatian publik sejak tahun 2010-an. Beberapa waktu lalu, Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan polusi terburuk kedua di dunia.

Menurut WHO polusi udara menyumbang 29 persen dari semua kematian dan penyakit akibat kanker paru-paru. Udara yang dihirup mungkin tercampur dengan zat penyebab kanker dan polusi udara luar ruangan secara resmi diklasifikasikan sebagai karsinogenik.

2. Vaping

Ketika e-rokok (juga dikenal sebagai vape) memasuki pasar tembakau, mereka disebut-sebut sebagai alternatif yang jauh lebih aman daripada merokok. Namun, meskipun tidak ada asap dan tar yang ada dalam rokok elektronik, mereka memanaskan nikotin dan perasa lainnya. Jadi ketika menyesap vape, sama halnya dengan menghirup beberapa zat penyebab kanker.

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Molecular Sciences, pengguna vape mengembangkan beberapa perubahan molekuler yang sama dalam jaringan mulut yang menyebabkan kanker pada perokok.

3. Daging sapi olahan

Dewasa ini konsumsi daging merah dan olahan kian meningkat. Namun menurut WHO daging olahan seperti sosis, ham, bacon, dan daging asap telah diklasifikasikan sebagai karsinogen Kelompok 1. Di sisi lain, daging merah seperti daging sapi, domba dan babi, telah diklasifikasikan sebagai karsinogen Grup 2A. Yang mana keduanya terkait langsung dengan kanker.

4. Konsumsi teh panas atau kopi panas

Menyeruput secangkir teh panas atau kopi saat sarapan atau saat cuaca dingin memang sangat nikmat. Namun ternyata, menurut penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Cancer disebutkan bahwa meminum cairan yang sangat panas bisa memicu kanker kerongkongan.

Untuk melakukan penelitian, para peneliti membagi suhu teh menjadi sangat panas (lebih dari 60 derajat Celcius) dan dingin atau suam-suam kuku (kurang dari atau sama dengan 60 derajat Celcius).

Ditemukan, peserta yang minum 700 mililiter teh sangat panas setiap hari meningkatkan kemungkinan kanker esofagus sebesar 90 persen, bila dibandingkan dengan minum teh dingin atau suam-suam kuku dalam jumlah yang sama setiap hari.

5. Bra berkawat

Ada spekulasi oleh para ahli kesehatan bahwa bra berkawat membatasi sistem getah bening di sekitar payudara dan ketiak. Itu diyakini menyebabkan penumpukan racun di dalam tubuh, yang meningkatkan risiko kanker.

Kekhawatiran lain yang muncul adalah bahwa wanita yang memakai bra ini selama lebih dari 12 jam sehari berisiko lebih tinggi terkena kanker payudara. Namun, hingga saat ini, tidak ada cukup bukti untuk mendukung spekulasi ini.

6. Stres

Dalam satu dekade terakhir, terjadi lonjakan stres dan depresi di dunia. Profesor Onkologi Umum dan Ilmu Perilaku, Lorenzo Cohen, Ph.D mengatakan bahwa hidup dengan stres kronis bisa meningkatkan risiko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement