Rabu 13 Nov 2019 13:00 WIB

Berapa Lingkar Pinggang dan Kadar Gula Darah Anda?

Lingkar pinggang dan kadar gula darah dapat menjadi jendela status kesehatan.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Mengukur lingkar pinggang. (ilustrasi)
Foto: ABC News
Mengukur lingkar pinggang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sindrom metabolik merupakan sekumpulan kondisi yang muncul bersamaan dan dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular serta diabetes mellitus tipe 2. Kondisi tersebut meliputi obesitas sentral atau viseral, hipertensi, resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan dislipidemia.

Salah satu tanda umum yang bisa terlihat dari sindrom metabolik adalah lingkar pinggang yang besar. Seseorang yang memiliki ukuran lingkar pinggang melebihi batas normal perlu lebih waspada terhadap kemungkinan sindrom metabolik.

Baca Juga

Batas acuan lingkar pinggang untuk orang Asia, termasuk Indonesia, cenderung lebih kecil. Batas lingkar pinggang untuk perempuan adalah 80 sentimeter, sedangkan untuk laki-laki adalah 90 sentimeter.

"Lebih atau sama dengan ya. Jadi (laki-laki) 90 cm pun masuk, (perempuan) 80 cm pun masuk dalam kategori ke arah sindrom metabolik," jelas dr Wismandari Wisnu SpPD KEMD kepada Republika.co.id usai simposium Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK) 2019 yang digelar oleh Fakultas Kedokter Universitas Indonesia (FKUI) di Gedung IMERI FKUI, Jakarta.

Karakteristik lain dari sindrom metabolik adalah kadar gula darah yang meningkat. Seseorang tidak harus menderita diabetes untuk terdiagnosis sindrom metabolik. Mereka yang masih dalam fase prediabetes juga bisa terdiagnosis sindrom metabolik bila memiliki kondisi-kondisi lain, seperti obesitas, hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi.

"Kalau disertai itu semua, bahkan belum jadi diabetes pun sudah masuk sindrom metabolik," ungkap Wismandari.

Prediabetes merupakan kondisi di mana kadar gula darah lebih tingi dari normal, namun belum cukup tinggi untuk dikategorikan sebagai diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). Kondisi prediabetes dapat dicegah agar tidak berkembang menjadi DMT2 dengan intervensi sejak dini. Akan tetapi, prediabetes umumnya tidak bergejala sehingga deteksi dini sangat dibutuhkan.

"Itu pentingnya kita mendeteksi orang prediabetes supaya tidak menjadi diabetes," kata Wismandari.

Bila tidak disadari dan diintervensi sejak ini, kondisi prediabetes dapat berkembang menjadi DMT2. Seperti diketahui, DMT2 merupakan penyakit yang bersifat progresif dan dapat memicu berbagai komplikasi di kemudian hari.

Risiko komplikasi pada diabetes dapat diturunkan dengan cara memperbaiki kontrol glycated hemoglobin (HbA1c). WebMD mengungkapkan bahwa HbA1c merupakan senyawa yang terbentuk ketika hemoglobin menempel dengan gula di dalam darah. Pemeriksaan HbA1c dapat menunjukkan kondisi kadar gula darah seseorang dalam rentang waktu 6-12 minggu yang lalu.

"Kalau HbA1c naik, risiko komplikasi juga naik. Studi lama maupun baru menunjukkan hasil yang sama," tutur Wismandari.

Pada penderita DMT2, kadar HbA1c dapat dikendalikan dengan terapi yang intensif melalui lima pilar. Kelima pilar tersebut adalah edukasi, terapi nutrisi medis, aktivitas fisik, obat-obatan, dan pemantauan gula darah mandiri.

Wismandari mengungkapkan bahwa kadar HbA1c pada pasien DMT2 juga menjadi pertimbangan dokter untuk menentukan obat. Mengacu pada panduan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Wismandari mengatakan pasien DMT2 dengna HbA1c di bawah 7,5 dapat diterapi dengan satu obat.

Pasien dengan HbA1c di atas 7,5 namun di bawah 9 dapat diberikan terapi dua kombinasi obat. Pasien dengan HbA1c di atas 9 tanpa gejala dapat diberikan dua atau tiga kombinasi obat. Sedangkan pasien dengan HbA1c di atas 9 dengan gejala dapat langsung diberikan terapi insulin.

"Tujuan dari semua yang kita lakukan adalah mencegah komplikasi (akibat diabetes) dan meningkatkan kualitas hidup," ujar Wismandari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement