Selasa 12 Nov 2019 17:00 WIB

Risiko Demensia Terkait dengan Kognitif Semasa Kecil?

Kaitan antara kemampuan kognitif semasa kecil dengan risiko demensia diteliti.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Reiny Dwinanda
Anak lakukan tes IQ/ilustrasi
Foto: ehow.com
Anak lakukan tes IQ/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Baru-baru ini muncul sebuah studi yang menyelidiki kemampuan kognitif seseorang. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan untuk berpikir, bernalar, dan mengingat seumur hidupnya.

Dalam studi tersebut, para peneliti berharap untuk mendapatkan wawasan tentang faktor yang memengaruhi kemampuan kognitif. Pasalnya, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan penurunan kognitif di kemudian hari, termasuk penyakit Alzheimer dan bentuk lain dari demensia.

Baca Juga

 

Lebih lanjut, para peneliti mencari faktor-faktor yang dapat berfungsi untuk memprediksi pemikiran dan kinerja memori di kemudian hari. Tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi termasuk di dalamnya.

"Menemukan prediktor ini penting," kata penulis studi Jonathan M Schott, dari University College London di Inggris, seperti dilansir Medical News Today, Senin (11/11).

Schott mengatakan, dengan memahami apa yang mempengaruhi kinerja kognitif seseorang di kemudian hari, kita dapat menentukan aspek mana yang dapat dimodifikasi oleh perubahan pendidikan atau gaya hidup. Bentuk modifikasinya bisa jadi menyangkut olahraga, diet, atau tidur, yang pada gilirannya dapat memperlambat perkembangan penurunan kognitif.

Berdasarkan data, demensia hingga kini sudah memengaruhi 5,8 juta jiwa di Amerika Serikat (AS). Kondisi itu dapat menyebabkan penurunan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah, mengingat, berbicara, dan berpikir.

Dalam bentuknya yang paling parah, demensia memiliki dampak signifikan pada kemampuan seseorang untuk melakukan tugas sehari-hari. Dalam hasil penelitian yang terbit  di jurnal Neurology, para penulisnya bermaksud membandingkan hasil tes berpikir dan daya ingat pada orang di rentang usia 8 tahun dan 70 tahun.

Para peneliti mulai mengamati 502 orang yang semuanya dilahirkan di pekan yang sama pada 1946. Para peserta mengambil sejumlah tes yang mengukur keterampilan, seperti ingatan, bahasa, orientasi, dan konsentrasi.

Dalam satu tes yang mirip dengan tes yang pernah dijalani semasa kanak-kanak, mereka harus melihat bentuk geometris dan melihat bagian yang hilang dari lima opsi. Para peneliti kemudian mengamati jenis kelamin, kemampuan masa kanak-kanak, pendidikan, dan status sosial ekonomi, yang ditentukan berdasarkan pekerjaan peserta pada usia 53 tahun.

Mereka menemukan bahwa kemampuan berpikir sebagai anak dihitung dengan skor yang diraih lebih dari 60 tahun kemudian. Sedangkan, mereka yang berprestasi di 25 persen urutan teratas sebagai anak-anak, misalnya, cenderung memegang posisi mereka di 25 persen teratas pada usia 70 tahun.

Menariknya, wanita mengungguli pria dalam hal kecepatan berpikir dan ujian memori.  Nyatanya, pendidikan juga berpengaruh, di mana subjek yang memiliki gelar sarjana, memiliki skor 16 persen lebih tinggi daripada mereka yang menyelesaikan sekolah sebelum berusia 16 tahun.

Berbeda dengan pendidikan, status sosial ekonomi yang lebih tinggi nyatanya tidak memberikan dampak signifikan pada kinerja kognitif. Para peserta juga menjalani pemindaian MRI terperinci dan pemindaian PET untuk mencari plak beta-amiloid di otak.

 

Para peneliti menemukan bahwa peserta dengan plak beta-amiloid, mendapat skor lebih rendah pada tes. Sebagai contoh, pada tes potongan yang hilang, rata-rata para peserta mendapat delapan persen skor yang lebih rendah.

Namun demikian, para peneliti itu tidak menemukan hubungan antara keberadaan plak dan kemampuan kognitif masa kanak-kanak, status sosial ekonomi, pendidikan, atau jenis kelamin. Penelitian ini terbatas pada peserta berkulit putih sehingga, sulit untuk mengatakan apakah temuan tersebut akan berlaku pada yang lainnya ataupun tidak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement