REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja di perusahaan menjadi perhatian saat ini. Menurut riset dari lembaga konsultan firma McKinsey & Company, ada beberapa hambatan bagi perempuan, yang menjadi alasan tak banyak perempuan bisa bekerja di sebuah perusahaan.
Associate Partner McKinsey & Company, Sebastian Jammer, mengatakan, sebenarnya perempuan memiliki ambisi yang sama dengan laki-laki di ranah pekerjaan. "Perempuan yang bekerja, bukan tidak ingin memiliki karier dan bukan tidak ingin bekerja. Keinginan itu hampir sama dengan keinginan laki-laki," ungkap dia di kantor Gojek, di Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Dalam riset yang dilakukan pada 2013 lalu, sebanyak 79 persen perempuan yang terlibat dalam riset, mengatakan ingin memiliki karier yang cemerlang saat dia bekerja. Perempuan juga memiliki aspirasi untuk menempati jabatan yang tinggi di perusahaan.
Persentase itu hampir mirip dengan persentase laki-laki yang terlibat dalam riset. Laki-laki juga ingin memiliki jenjang karier yang lebih panjang dan lebih tinggi. Persentasenya sebanyak 81 persen dari jumlah responden.
Akan tetapi, ada hambatan-hambatan yang menjadi alasan mengapa masih sedikitnya perempuan yang berkarier. Hal yang pertama adalah perempuan biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah untuk meraih karier yang lebih tinggi.
Setidaknya, ada sebanyak 58 persen responden perempuan yang bekerja pada jabatan level menengah ke atas yang berpendapat tidak setuju akan kepercayaan diri mengenai sukses mencapai karier yang tinggi. Persentase ini lebih rendah dari pada responden laki-laki yang setuju percaya diri, dengan persentase 76 persen.
Lalu, pada jabatan level senior, ada sebanyak 69 persen responden perempuan yang berpendapat tidak setuju akan kepercayaan diri mengenai sukses mencapai karier tinggi. Persentase ini juga lebih rendah dari persentase responden laki-laki dengan jumlah 86 persen.
"Hal ini sebenarnya bisa didukung oleh lingkungan dengan tidak menilai perempuan hanya dari penampilannya saja. Dan sebagai perempuan, sebaiknya cobalah untuk lebih percaya diri," ungkap Sebastian.
Hambatan berikutnya adalah perempuan merasa tidak didukung oleh lingkungan sekitarnya. Setidaknya ada 59 persen responden perempuan yang merasa tidak didukung atau merasa netral dalam dunia pekerjaannya.
"Saya yakin kita tidak ada masalah dengan merekrut perempuan dalam perusahaan kita. Tapi apakah kita benar-benar merekrut perempuan secara eksplisit dan mendukungnya?" kata dia.
Hambatan yang terakhir ditemukan di Indonesia adalah perempuan di Indonesia masih banyak yang menjadi tumpuan kepercayaan oleh keluarga mereka. Setidaknya ada 78 persen responden perempuan yang percaya bahwa harapan keluarga pada perempuan menahan mereka untuk berkarier lebih tinggi.
Artinya, masih ditemukan di Indonesia bahwa perempuan masih diinginkan untuk berada di rumah saja oleh keluarga, mengurus anak, dan mengurus rumah. Akan tetapi, McKinsey & Company menemukan itu paling banyak di kota-kota kecil, bahkan pedesaan.
"Di kota metropolitan seperti di Jakarta, keluarga progresif dan lebih tidak masalah. Karena keluarganya pun mendukung karena hidup di Jakarta harus banyak pendapatan buat keluarga. Kalau di kota yang lebih kecil, seperti Bandung, umumnya lebih tradisional," tutur Sebastian.
Meskipun demikian, McKinsey & Company menilai pelibatan perempuan dan kesetaraan gender di Indonesia memiliki nilai sedikit lebih bagus dari rata-rata di Asia Pasifik. Sebastian memberikan apresiasi mengenai ini, namun tetap saja dalam penambahan pelibatan perempuan, kata dia, harus terus ditingkatkan lagi.