Selasa 05 Nov 2019 09:15 WIB

Daging Palsu, Kuliner yang Makin Populer di Cina

Daging 'palsu' sudah ada di China sejak abad ke-10.

Rep: Puti Almas/ Red: Indira Rezkisari
Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan terhadap produk daging palsu telah melonjak. Daging palsu terbuat dari sayur serta kacang-kacangan dan diolah menyerupai daging.
Foto: EPA
Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan terhadap produk daging palsu telah melonjak. Daging palsu terbuat dari sayur serta kacang-kacangan dan diolah menyerupai daging.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING — Wang Jianguang teringat saat masih berusia 29 tahun. Ketika itu, ia yang tumbuh di sebuah lingkungan miskin di Shanxi, provinsi di utara Cina melihat sayap ayam yang disajikan bersama dengan kecap adalah suatu makanan yang mewah.

Hingga suatu hari, keluarga membelikannya sayap ayam dan kecap yang terlihat begitu nikmat. Namun, Jianguang kemudian sadar bahwa itu hanyalah makanan yang berbentuk seperti sayap ayam.

Baca Juga

Sebenarnya, makanan itu tidak terbuat dari ayam sama sekali, melainkan kombinasi rumit dari kacang kedelai dan kacang tanah yang dibuat menyerupai hidangan ‘mewah’ tersebut. Itulah pertemuan pertama Jianguang dengan makanan tiruan yang ternyata di Cina sudah ada berabad-abad lalu.

“Itu tampak seperti benar-benar sayap ayam,” ujar Jianguang dilansir CNN, Selasa (5/10).

Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan terhadap produk daging palsu telah melonjak begitu pesat, khususnya di negara-negara Barat. Banyak orang yang mencari alternatif makanan lebih ramah lingkungan dan sehat untuk tubuh mereka, sehingga mengganti menu daging merah menjadi solusi.

Siapa sangka, ternyata China telah lebih dahulu menciptakan hidangan ‘palsu’ seperti itu dengan memahat dan membumbui hidangan berbasis daging tradisional dari jamur, kacang-kacangan dan sayuran. Terdapat beberapa catatan dari para biksu yang mengkonsumsi daging vegetarian ini.

Sebenarnya hidangan semacam ini sudah ada sejak Dinasti Song pada abad ke-10, saat itu dikenal sebagai fanghung cai atau secara harfiah berarti hidangan daging imitasi.

Adopsi awal produk daging palsu di Cina memang diketahui terkait erat dengan sejarah panjang Buddha. Agama ini diperkenalkan ke Negeri Tirai Bambu pada awal Dinasti Han, sekitar 2.000 tahun yang lalu.

Selama berabad-abad, popularitasnya telah naik dan turun sejalan dengan preferensi para pemimpin negara. Hari ini, sekitar 20 persen dari populasi atau 250 juta orang di China menganut Buddha.

Prinsip utama Buddha adalah menghormati semua makhluk hidup dan menjadi vegetarian adalah hal yang umum di antara para penganut agama ini. Biasanya, vihara-vihara menyediakan makanan vegetarian dan sering kali harus mengakomodasi pilihan makanan dari para peziarah atau pengunjung yang datang.

“Para pengunjung akan mengharapkan makanan berbasis daging dan dari sini tradisi itu berasal. Anda akan mendapatkan semua hidangan itu, namun dibuat dari bahan-bahan vegetarian,” kata penulis makanan Fuschia Dunlop.

Bahkan, di vihara-vihara yang lebih besar, orang-orang bisa mendapatkan hidangan sirup hiu, serta sejenis makanan mewah lainnya yang meskipun palsu, namun tidak kalah lezat. Semua yang dilakukan sejak lama mempengaruhi dunia secara luas saat ini.

Daging imitasi begitu terkenal di seluruh dunia, menjadi solusi bagi orang-orang yang telah memilih untuk menjadi vegetarian. Seperti di Shanghai, Anda bisa memakan kepiting goreng yang ternyata terbuat dari kentang tumbuk dan wortel.

Di Ibu Kota Beijing, setidaknya ada lebih dari 300 restoran yang menawarkan daging imitasi. Dalam 60 tahun terakhir, permintaan daging di Cina melonjak, dan ini ternyata membantu mendorong orang-orang semakin sadar bahwa harus ada solusi untuk menggantinya.

Sementara itu, Jianguang yang saat ini bekerja di restoran hidangan daging imitasi di Baihe Restaurant di Beijing mengatakan sangat bangga bisa menciptakan makanan semacam ini. Ia juga menggarisbawahi terdapat perbedaan dari produk daging palsu di China dan Barat, dan tentu baginya produk dari negaranya jauh lebih canggih.

"Makanan vegetarian Tiongkok lebih rumit daripada versi Barat. Makanan ini memiliki lebih banyak bentuk, lebih banyak rasa, sementara versi Barat lebih sederhana,” jelas Wang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement