Ahad 03 Nov 2019 13:16 WIB

Stres Saat Hamil Bisa Pengaruhi Janin Laki-Laki?

Stres disebut bisa membuat embrio bayi laki-laki sulit bertahan.

Rep: Febryan A/ Red: Nora Azizah
Ibu Hamil (Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Ibu Hamil (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Riset terbaru dari Columbia University, Amerika Serikat (AS), menemukan bahwa perempuan yang mengalami stres saat hamil cenderung melahirkan bayi laki-laki daripada perempuan. Sebab, stres membuat embrio bayi laki-laki sulit bertahan.

Temuan ini disebut bisa menjadi jawaban alternatif terhadap penurunan kelahiran bayi laki-laki yang lahir usai tragedi 9/11 di AS. Selain itu, hasil riset ini menjadi peringatan betapa pentingnya dukungan fisik dan emosional bagi seorang ibu hamil.

Baca Juga

"Beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa stres memang mempengaruhi perbandingan jumlah populasi wanita dan pria," kata anggota tim riset, Dr. Catherine Monk yang merupakan profesor dalam bidang psikologi medis dan kesehatan mental perempuan di Columbia University Irving Medical Center.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada kondisi normal, terdapat 100 bayi laki-laki lahir sedangkan bayi perempuan 105. Namun angka ini bisa saja menjadi sangat relatif ketika ibu hamil mengalami stres.

Hal itu terbukti, tulis laman fatherly.com, Ahad (3/11), dengan menurunnya jumlah kelahiran bayi perempuan saat terjadi gempa bumi di Chile. Oleh karena itu, para peneliti riset ini meyakini hasil temuan mereka bahwa stres membuat embrio calon bayi laki-laki lebih rentan.

Adapun pada riset yang digawangi Monk dan rekan-rekannya, menjadikan penemuan sebelumnya sebagai acuan untuk mencari tahu seberapa konsisten stres mempengaruhi jenis kelamin bayi. Mereka juga berupaya untuk mencari tahu perbedaan dampak dari stres fisik dan stres psikologis.

 

photo
Ibu hamil (Ilustrasi)

 

"Kami ingin mengidentifikasi tipe stres yang mempengaruhi jenis kelamin bayi. Stres bisa saja dialami karena terlalu banyak pikiran, beban, atau tersulut emosi. Dan juga tanda kelelahan fisik," kata Monk.

Riset ini dilakukan dengan menggunakan 27 indikator psikososial, fisik, dan stres karena gaya hidup. Diantaranya, tekanan darah, kadar kolesterol, gejala kecemasan, dan indikator psikologis lainnya.

Objek penelitian adalah 187 ibu hamil yang dalam kondisi sehat, atau yang berumur 18-45 tahun. Penilaian dilakukan saat usia kehamilan 12-22 pekan, 23-28 pekan, dan 34-36 pekan.

Sebanyak 17,1 persen dari objek penelitian mengalami masalah psikologis seperti stres, depresi dan kecemasan. Kemudian, 16 persen mengalami stres secara fisik seperti darah tinggi dan masalah asupan kalori.

Hasilnya, memang subjek penelitian yang dalam kondisi stres psikologis dan fisik cendrung lebih sedikit melahirkan bayi laki-laki dibandingkan subjek yang dalam kondisi tak stres fisik maupun psikologis. Ibu hamil yang dalam kondisi stres psikologis rasionya melahirkan 2 bayi laki-laki berbanding 3 bayi perempuan. Sedangkan subjek yang mengalami stres secara fisik memliki rasio kelahiran 4 laki-laki berbanding 9 perempuan.

Hal ini menunjukkan bahwa stres memainkan peran penting dalam penentuan jenis kelamin bayi. Meski demikian, Monk bersama rekannya meyakini yang terjadi akibat stres lebih buruk dari itu yakni, kecenderungan untuk keguguran lebih tinggi pada kehamilan bayi laki-laki.

“Kami menafsirkan bahwa hasil riset ini sebagai indikasi bahwa wanita yang mengalami stres cendrung kegeguran pada bayi laki-laki, sedangkan bayi perempuan cenderung bisa bertahan. Penafsiran ini didasarkan pada karya sebelumnya dalam biologi evolusi, yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap dampak negatif di lingkungan utero," papar Monk.

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan alasan embrio laki-laki lebih rentan dibandingkan embrio perempuan. Namun, saat ini yang terpenting adalah menjauhkan ibu hamil dari stres. Sebab, hamil memang cenderung membuat stres lantaran munculnya fikiran untuk membesarkan seorang anak.

Dukungan sosial, ujar Monk, seperti memiliki teman untuk diajak bercerita ataupun membantu beberapa pekerjaan akan memberi dampak signifikan pada ibu hamil. Dan tentu, suaminya harus mengambil peran tersebut.

"Dukungan sosial barangkali adalah kunci untuk membantu ibu hami yang mengalami stres," kata Monk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement