REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Sosiolog Emile Durkheim dalam bukunya Suicide mendefinisikan bunuh diri sebagai kematian yang secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari tindakan positif atau negatif dari korban. Perempuan disebut tiga kali lebih rentan melakukan percobaan bunuh diri ketimbang laki-laki.
"Secara umum, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya kecenderungan berperilaku bunuh diri, hanya saja riset menunjukkan perempuan tiga kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri, dan laki-laki yang meninggal karena bunuh diri empat kali lebih banyak dibandingkan perempuan," ujar Psikolog Tience Debora Valentina, M.A, Ahad (13/10).
Menurutnya, laki-laki lebih cenderung melakukan tindakan bunuh diri fatal yang berakibat pada kematian. Terkait dengan alasan mengapa seseorang mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri, ia menilai tidak ada faktor tunggal yang dapat dirujuk karena ada banyak penyebab yang kemudian berakumulasi, yang akhirnya membuat orang merasa tidak berdaya atau tidak punya tujuan hidup.
Ia memberi contoh, seseorang yang merasa tidak mampu menyelesaikan tugas dari guru atau dosen, atau seorang suami pengangguran dan merasa tidak mampu menafkahi keluarga atau situasi lain yang membuat merasa tidak berdaya.
"Jadi sebenarnya bukan situasinya yang menyebabkan bunuh diri, namun respon psikologis yaitu apa yang dirasakan atau dipikirkan terhadap situasi yang dihadapinya yaitu ketidakberdayaan atau meaningless," kata psikolog yang juga akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.
Ia memaparkan, sebenarnya ciri-ciri orang yang berniat melakukan bunuh diri bisa dikenali mulai dari berbicara tentang bunuh diri, keinginan untuk mati, tidak ingin bertemu siapa-siapa atau kalimat lain yang bernada keputusasaan dan ketidakberdayaan. "Kemudian orang tersebut biasanya memiliki masalah dengan makan dan tidur yaitu cenderung malas makan dan sulit tidur, ada perubahan perilaku dari biasanya seperti mengurung diri, tidak mau berbicara dengan orang lain," kata dia.
Lalu, kehilangan minat terhadap pekerjaan, hobi atau lainnya, menulis atau mengucapkan kata-kata bernada perpisahan dengan orang terdekat, dan mungkin sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Ia memastikan, tidak ada penyebab yang dominan orang melakukan bunuh diri karena itu hanya faktor pemicu atau faktor situasi seperti konflik dengan orang lain, gagal dalam ujian atau tes pekerjaan.
Bisa juga mereka yang mengalami perundungan, kekerasan, kematian atau kehilangan anggota keluarga yang dicintai dan situasi lainnya, katanya. Selain itu ia mengingatkan jangan sampai mengabaikan faktor kerentanan kepribadian atau orang dengan gangguan psikologis yang menyebabkan berperilaku bunuh diri.
Sebagai contoh, orang berkepribadian borderline personality disorder atau tidak stabil secara emosi memiliki kecenderungan berperilaku bunuh diri dan masih banyak gangguan kepribadian lainnya yang menjadi faktor risiko perilaku bunuh diri. Oleh karena itu tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan perilaku bunuh diri sehingga harus benar-benar dikaji secara mendalam, ujarnya.
Pada sisi lain, ia menilai kasus bunuh diri dapat dicegah, dimulai dengan ketika menemukan orang yang berpotensi mengajak bicara, menemani, mendengarkan apa yang disampaikan dengan perhatian dan tidak menghakimi atau mengolok-olok. Lalu menyingkirkan benda tajam atau berbahaya yang dapat digunakan sebagai alat melakukan tindakan bunuh diri hingga memberikan dorongan untuk menemui ahli psikiater atau psikolog yang dapat membantu, ujarnya
Ia menilai, orang berperilaku bunuh diri karena merasa tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi sendiri sehingga perlu didorong untuk tidak sungkan menemui orang yang mampu mendengarkan apa yang menjadi keluh kesahnya. "Kerja sama dengan berbagai pihak untuk menolong orang tersebut penting untuk menyelesaikan masalahnya, melibatkan komunitas sekitarnya, misalnya sekolah, teman terdekat, teman dan atasan di lingkungan pekerjaan, tokoh masyarakat, tokoh agama, sehingga orang itu menyadari ia tidak sendiri," ujarnya.