Rabu 02 Oct 2019 13:35 WIB

Indonesia Masih Dibayangi Wabah Difteri dan Campak

Cakupan imunisasi lanjutan Indonesia baru 57 persen, waspadai difteri dan campak.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Reiny Dwinanda
Bahaya Difteri
Foto: republika/mardiah
Bahaya Difteri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan merilis hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas)  2018 yang menunjukkan proporsi cakupan imunisasi lanjutan baru mencapai 57,9 persen. Akibatnya, difteri dan campak menjadi wabah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) masih terjadi di Indonesia hingga saat ini.

"Hasil Riskesdas Litbangkes Kemenkes 2018 menunjukkan, cakupan imunisasi lengkap mulai dari Bacillus Calmette-Guérin (BCG) dan campak baru menunjukkan 57,9 persen. Efeknya masih ada wabah difteri dan wadah campak," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Siswanto saat ditemui usai menghadiri OIC Workshop on Vaccine Cold Chain Management, di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), di Jakarta, Selasa (1/10).

Baca Juga

Padahal, menurut Siswanto, Kemenkes menargetkan cakupan imunisasi minimal 90 persen. Ia menyebutkan beberapa alasan yang membuat cakupan imunisasi masih kurang dari target.

photo
Petugas medis memperlihatkan botol berisi vaksin campak.

Menurut Siswanto, penyebab rendahnya cakupan imunisasi lanjutan dapat ditengok dari sisi kesehatan masyarakat dan masyarakat. Ia menjelaskan, dari sisi masyarakat, banyak yang enggan mengimunisasi anaknya karena takut buah hatinya mengalami panas dan ketidaktahuan menjadi alasan lainnya. Sementara itu, dari sisi kesehatan masyarakat, masih harus ada peningkatan upaya cakupan.

"Jadi memang perlu ditingkatkan dan harus merata kepada seluruh desa supaya dicapai universal child immunization (UCI) atau imunitas kelompok anak," ujarnya.

Disinggung mengenai workshop dengan 14 negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), Siswanto menyebut pembicaraan tidak hanya mengenai cakupan imunisasi. Kualitas vaksin juga menjadi bagian dari diskusi.

"Kalau bicara kualitas kan mulai dari produksi sampai distribusi dan disuntikkan kepada balita," katanya.

Siswanto mengklaim bahwa mata rantai kualitas vaksin sudah bagus. Hanya saja, ia mengakui bahwa penanganan vaksin di level distribusi dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) ke lapangan harus lebih diperhatikan.

Data riset kesehatan dasar (riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa cakupan proporsi imunisasi dasar di Indonesia pada anak umur 12-23 bulan mencapai 83,1 persen dan cakupan proporsi imunisasi lanjutan mencapai 57,9 persen. Padahal, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 12 tahun 2017 menyatakan, cakupan harus dipertahankan tinggi dan merata untuk mencapai kekebalan komunitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement