REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO — Setidaknya satu dari 16 perempuan di Amerika Serikat (AS) telah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual di awal usia remaja. Bahkan, sebuah studi menunjukkan bahwa bagi beberapa orang, hal ini memiliki dampak kesehatan jangka panjang.
Menurut penulis studi, hubungan seksual yang dipaksa ini termasuk pemerkosaan. Hampir tujuh persen perempuan yang mengikuti survei mengatakan bahwa pengalaman hubungan seksual yang mereka alami terjadi di luar kehendak dan usia rata-rata mereka saat itu adalah 15 tahun.
Sementara, pria yang terlibat dalam hubungan seksual itu berusia beberapa tahun lebih tua. Hampir setengah dari responden yang mengaku hubungan intim itu terjadi di luar kehendak menyatakan bahwa mereka ditekan secara fisik, sementara sisanya mengalami tekanan secara verbal.
"Sebuah hubungan seksual yang bertentangan dengan kehendak seseorang adalah pemerkosaan. Jika seseorag ditekan secara verbal untuk melakukan hubungan seks, itu sama halnya dengan pemerkosaan,” ujar Laura Hawks, peneliti internis dari Harvard Medical School.
Setelah mengalami hubungan seksual dari hasil paksaan, perempuan biasanya terkena dampak yang cukup signifikan. Mulai dari akhirnya memiliih lebih banyak partner seks, kehamilan di luar rencana, serta aborsi.
Bahkan berbagai masalah kesehatan reproduksi juga terjadi, termasuk di antaranya nyeri panggul dan menstruasi yang tidak teratur. Hampir 16 persen perempuan yang memiliki pengalaman seksual karena paksaan memiliki kesehatan yang buruk, dua kali lipat dibandingkan perempuan lain. Meski demikian, penelitian ini tidak dapat menetapkan apakah hubungan seks secara dipaksa menyebabkan atau berkontribusi pada masalah kesehatan lainnya.
"Mengalami pemerkosaan pada pengalaman seksual yang pertama adalah berarti hilangnya otonomi yang ekstrem atas seksualitas seseorang," kata Hawks.
Studi lain telah menemukan bahwa efek jangka panjang dari serangan seksual dapat termasuk isolasi sosial, perasaan tidak berdaya, stigmatisasi, citra diri yang buruk, dan perilaku berisiko. Hal ini kemudian dapat meningkatkan risiko depresi dan masalah kesehatan mental lainnya.
Penelitian yang diterbitkan tahun lalu juga menemukan kesejahteraan psikologis dan kesehatan fisik yang lebih buruk diantara perempuan yang melakukan hubungan seksual pertama kali dipaksa atau dipaksa. Studi baru kali ini adalah analisis tanggapan dari 13.310 perempuan dewasa yang berpartisipasi dalam survei kesehatan pemerintah AS secara nasional dari 2011-2017, sebelum munculnya gerakan "Me, Too".
Para peneliti memfokuskan pertanyaan survei selama wawancara langsung tentang apakah pengalaman hubungan seks vaginal pertama perempuan dengan seorang pria dilakukan secara sukarela atau di luar kehendak. Hasilnya menunjukkan bahwa satu dari 16 perempuan Amerika adalah mengalaminya di luar kehendak.
Menurut Pusat federal untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, hampir satu dari 5 perempuan pernah mengalami perkosaan. Hampir setengah dari mereka mengalami hal itu saat masih berusia di bawah 18 tahun.
Penelitian tersebut, yang meminta perempuan dari usia 18-44 tahun untuk mengingat kembali pengalaman seksual pertama mereka tidak memiliki informasi tentang hubungan perempuan dengan laki-laki, yang bisa jadi pacar, kerabat atau orang asing. Sementara itu, laki-laki tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Hawks mengatakan anak laki-laki perlu diajari keterampilan komunikasi untuk mencegah mereka melakukan hubungan seks dengan seseorang yang tidak menginginkannya. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab tidak boleh berada pada para korban.
Dan Rice, seorang spesialis pendidikan seks juga mengatakan bahwa pendidikan dan seksualitas yang tidak memadai di sekolah-sekolah AS berkontribusi pada masalah ini. Hanya 24 negara bagian yang mensyaratkan pendidikan seksualitas untuk diajarkan di sekolah umum dan beberapa program hanya berfokus pada hal-hal yang tak boleh dilakukan, tidak menyeluruh.
“Budaya kita mengajarkan orang untuk tidak diperkosa, alih-alih mengajar orang untuk tidak memperkosa," kata Rice.