REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Restriksi kalori, khususnya bila dikombinasikan dengan olahraga, dapat membuat tulang menjadi lebih kecil dan lebih rapuh. Sebaliknya, olahraga yang diiringi dengan asupan kalori normal dapat meningkatkan kesehatan tulang.
Hubungan antara restriksi kalori dan kesehatan tulang diungkapkan dalam studi yang dimuat pada 'Journal of Bone and Mineral Research'. Studi pada tikus ini berfokus kepada lemak sumsum tulang. Seperti diketahui, kadar lemak sumsum tulang yang rendah biasanya mengindikasikan kesehatan tulang yang baik.
Studi ini menunjukkan bahwa restriksi kalori dapat menurunkan berat badan sekaligus meningkatkan kadar lemak sumsum tulang secara signifikan. Di saat yang sama, densitas tulang tikus yang menjalani restriksi kalori juga mengalami penurunan. Padahal, para tikus yang menjalani restriksi kalori tetap mendapatkan suplemen vitamin dan mineral.
Dari temuan ini, tim peneliti menyimpulkan bahwa yang mempengarhui kerapuhan tulang bukanlah kekurangan vitamin dan mineral, melainkan pengurangan asupan kalori.
"Melihat temuan ini dari perspektif manusia, bahkan diet rendah kalori yang sangat bernutrisi tetap memiliki efek negatif bagi kesehatan tulang, terlebih bila dipasangkan dengan olahraga," jelas peneliti Dr Maya Styner dari University of North Carolina seperti dilansir Medical News Today, Senin (16/9).
Penurunan kepadatan tulang umumnya mulai terjadi pada dekade ketiga kehidupan. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi penurunan kepadatan tulang ini.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah berolahraga secara rutin. Cara lain yang dapat meminimalisasi penurunan kepadatan tulang adalah menghindari rokok, menghindari konsumsi alkohol, dan mendapatkan asupan vitamin D dan kalsium yang cukup.
Tulang juga secara alami terus memperbarui diri melalui proses penghancuran dan pembentukan tulang. Ketika proses pembentukan tulang baru lebih lambat dibandingkan proses penghancuran tulang, akan terjadi osetoporisis. Pada osteoporosis, tulang menjadi lebih rapuh dan lebih rentan terhadap patah tulang.
Masalah osteoporisis lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan dinilai lebih rentan karena cenderung memiliki tulang yang lebih kecil dan tipis. Selain itu, proses menopause membuat kadar estrogen menurun drastis. Padahal estrogen merupakan hormon yang dapat melindungi tulang.