REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Risiko kematian yang ditimbulkan rokok elektrik beraroma atau vape belum tentu lebih tinggi ketimbang rokok biasa, menurut pegiat kesehatan masyarakat Dr Ajeng Tias Endarti, SKM, M Commonhealth. Penelitian menyebut vape berdampak lebih tinggi dari rokok.
Dari 34 penelitian, ada yang menunjukkan vape memberi dampak risiko kematian lebih tinggi dari rokok biasa dan ada pula yang sebaliknya. Namun hal tersebut masih belum dapat diambil kesimpulan karena adanya konflik kepentingan dari sumber pendanaan penelitian.
"Terkait angka kematian akibat vape, itu menurut saya akan sangat tergantung dari penyakit yang menyertai kasus meninggalnya pasien. Vape tidak hanya menjadi salah satu faktor kematian, namun faktor itu berkolaborasi dengan penyakit lain," ujar pegiat kesehatan di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini di Jakarta.
Ajeng menyatakan, masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan vape sebagai salah satu faktor risiko penyebab kematian utama yang lebih besar ketimbang rokok. Karena penelitiannya baru berlangsung dalam rentang waktu yang pendek.
Ia menjabarkan, hampir semua studi mulai 1950-an menyepakati rokok menjadi faktor risiko penyakit ibu dan anak, penyakit menular. Namun studi terhadap vape baru dimulai sekitar 2014 sehingga kesimpulan studi vape belum sekuat rokok.
Di beberapa lembaga swadaya masyarakat kesehatan Indonesia, Ajeng mengatakan mereka telah menolak 'free smoke tobacco campaign' atau kampanye bebas dari asap tembakau yang dibentuk perusahaan rokok Phillip Morris. Kampanye itu seolah-olah membuat penghirup uap vape lebih sehat ketimbang asap rokok.
Selain itu, Ajeng menilai vape tidak bisa serta merta membebaskan pengonsumsinya dari bahaya yang sama ditimbulkan dari asap rokok.
"Tidak ada bedanya, rokok dan vape karena menimbulkan adiksi akibat kandungan nikotin yang menjadikannya ketagihan. Pada vape pun ada logam-logam pada saat dilakukan pembakaran, menimbulkan reaksi kimia yang menyebabkan kandungan nikel dan timbal menjadi lebih tinggi," ujar dia.
Untuk itu, Ajeng mengharapkan adanya usaha pencegahan preventif dari pemerintah untuk membentuk suatu regulasi yang memberi batasan tentang vape, yang berlaku sama halnya dengan rokok biasa.
Misalnya, regulasi yang dapat membatasi jumlah kafe khusus pengonsumsi vape, jam operasional atau pengunjungnya. Ini agar tidak menimbulkan dampak buruk berkepanjangan.