Kamis 05 Sep 2019 11:19 WIB

Wisatawan Eropa Pilih Lakukan Flight Shaming, Apa Itu?

Gerakan 'flight shaming' disebut sebagai ancaman terbesar industri penerbangan Eropa.

Calon Penumpang Pesawat / Ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Calon Penumpang Pesawat / Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Pada musim panas ini, perusahaan penerbangan Amerika Serikat mungkin sedang menikmati lonjakan permintaan penerbangan, yang kebal dari gerakan flight shaming. Namun istilah yang lahir di Swedia ini berdampak pada perjalanan udara di Eropa.

Di sana, wisatawan yang sadar lingkungan hidup memilih naik kereta daripada pesawat. "Flight shame", terjemahan harfiah dari bahasa Swedia "flygskam" adalah nama gerakan anti-terbang yang berasal dari Swedia tahun lalu. Gerakan ini mendorong orang agar berhenti naik pesawat untuk mengurangi buangan karbon.

Baca Juga

Pemimpin International Air Transport Association (IATA) Alexandre de Juniac , mengatakan, ancaman terbesar untuk industri penerbangan di Eropa ini juga diprediksi akan sampai di belahan lain dunia, terutama Amerika Utara.

"Jika nada percaya atau berfikir bahwa keprihatinan lingkungan hidup adalah keprihatinan dunia yang menyentuh setiap orang di planet ini, tak ada alasan untuk percaya bahwa orang muda lain tak akan bereaksi," kata Alexandre kepada Reuters, belum lama ini.

De Juniac belakangan mengakui bahwa kurangnya pilihan kereta yang layak di Amerika Serikat adalah penghalang besar bagi satu gerakan AS. Ia juga menyatakan, peningkatan rencana promosi yang berlangsung seperti Green New Dewal, yang mencakup penanaman modal pada kereta cepat.

Gerakan tersebut akan menyebar di Amerika Serikat dan kemudian bergerak ke negara maju di Asia seperti Korea dan Jepang, demikian ramalan de Juniac. Makin besar pertumbuhan anti-penerbangan, makin bersemangatpemerintah untuk mengenakan pajak industri, katanya. Saat ini, industri penerbangan sudah memangkas buangan karbon dari masing-masing wisatawan pesawat untuk memotong buangan netto sampai 2050 dan mencapai pertumbuhan netral-karbon dari 2020.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement