REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fibrilasi atrium (FA) adalah kelainan irama jantung yang ditandai dengan denyut jantung tidak teratur baik cepat maupun lambat. Fibrilasi Atrium merupakan penyakit distrik jantung yang sering ditemui bahkan merupakan salah satu penyakit jantung yang paling sering didapatkan di klinik. Di Indonesia diduga ada sekitar 2,2 juta orang yang menderita FA.
Beberapa keadaan dapat menjadi faktor risiko terjadinya FA, yaitu bertambahnya usia, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung koroner dan faktor genetik. Dilaporkan hingga 40 persen kejadian stroke berhubungan dengan adanya FA. Hal ini dapat terjadi karena pada FA terdapat kemudahan untuk terbentuk gumpalan darah di serambi jantung.
Bila gumpalan darah tersebut lepas maka umumnya akan tersangkut di pembuluh otak sehingga menimbulkan sumbatan dan menyebabkan stroke iskemik. Di samping itu, FA juga dapat menyebabkan gagal jantung.
Mengingat besarnya prevalensi FA di Indonesia dan tingginya risiko stroke yang akan berdampak luas secara ekonomi dan sosial, maka sangat penting untuk mendeteksi secara dini kejadian FA di masyarakat. Upaya deteksi FA tersebut tidak akan memberikan hasil yang optimal jika tidak melibatkan peran serta masyarakat dan media.
Untuk itu diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan kalangan non-medis lain tentang pentingnya dan risiko FA. Dalam konteks inilah kampanye FA dilakukan oleh InaHRS (Indonesia Heart Rhythm Society).
Kampanye FA ini di dunia pertama kali mulai di Amerika Serikat, dipelopori oleh Heart Rhythm Society (Perhimpunan Dokter Jantung ahli Gangguan Irama se Dunia) beserta National Stroke association (Badan Kesehatan Amerika yang menangani stroke) pada tahun 2012. Sedangkan di Indonesia, kampanye ini dilakukan pertama kali tahun 2016 dipelopori oleh Peritmi/InaHRS (Perhimpunan Dokter Jantung Ahli Arimia Indonesia) bersama dengan Asia Pasific Heart Rhthym Society (APHRS), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Yayasan Jantung Indonesia.
Dalam kesempatan kampanye fibrilasi atrium tahun 2019 yang mengambil tema Waspada Bahaya Fibrilasi Atrium, Stroke dan Sudden Death, InaHRS didukung oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Yayasan Jantung Indonesia menjadi penyelenggara kampanye untuk meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap gangguan irama fibrillasi atrium serta komplikasi yang dapat terjadi.
Dalam kampanye ini kembali ditekankan 'Menari' (Meraba Nadi Sendiri). 'Menari' merupakan salah satu cara mudah untuk mengenali Fibrillasi Atrium (FA) serta gangguan irama lainnya yang diharapkan dapat mencegah kelumpuhan akibat FA. Pemberdayaan masyarakat yang mengandung makna perubahan kecil seperti konsumsi makanan sehat, tidak minum alkohol, lebih banyak berolahraga dan stop merokok dapat memberikan perbedaan yang bermakna terhadap kesehatan dan dapat menjadi inspirasi global.
Jenis kegiatan pada kampanye FA kali ini adalah Lomba penulisan artikel di media massa (baik elektronik dan cetak) yang dimulai dari tanggal 27 Juni 2019 dan puncaknya Lomba Lari 5 Km dengan target peserta minimal 1.000 pelari serta pengumuman pemenang artikel di media massa terbaik pada tanggal 29 September 2019 di Gedung Graha Mandiri Jakarta Pusat. Kegiatan ini rencananya akan dihadiri oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota dimulai pada pukul 05.00 WIB. Bersama dengan acara itu akan dilakukan talkshow, skrining penyakit jantung dan pembuluh darah, konseling pemeriksaan EKG gratis dan kadar kolesterol serta gula darah.
Dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Jumat (5/7), ketua pelaksana kampanye fibrillasi atrium 2019 dr Reynold Agustinus Hasudungan Manullang Sp.JP(K), FIHA menyampaikan, terlambatnya deteksi dini Fibrilasi atrium mengakibatkan terjadinya komplikasi yang fatal serta memerlukan biaya pelayanan kesehatan yang cukup tinggi. Selain itu fibrilasi atrium juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian jantung mendadak pada penderita sakit jantung.
Selain penyakit jantung koroner dan hipertensi sebagai penyebab utama mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia, diketahui pula bahwa ternyata Fibrillasi Atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai pada populasi umum.
Prof Dr dr Yoga Yuniadi, Sp.JP(K), FIHA, FasCC, FEHRA, Guru Besar Ilmu Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. (Foto: Istimewa)
Berbicara mengenai FA, Prof Dr dr Yoga Yuniadi, Sp.JP(K), FIHA, FasCC, FEHRA, Guru Besar Ilmu Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI mengatakan, FA merupakan kelainan irama jantung berupa detak jantung yang tidak regular sering dijumpai pada populasi di dunia dan di Indonesia.
Namun disayangkan, kata Yoga, pengetahuan dan kepedulian tentang FA sampai saat ini masih rendah, padahal FA dapat menyebabkan bekuan darah di jantung yang bila lepas ke sirkulasi sistemik dan dapat menyebabkan stroke. Penderita FA memiliki risiko 5 kali lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan orang tanpa FA.
"Kelumpuhan merupakan bentuk kecacatan yang sering dijumpai pada kasus stroke dengan FA. Pada 37 persen pasien FA usia kurang dari 75 tahun, stroke iskemik merupakan gejala pertama yang didapati. Di Indonesia, banyak insiden kelumpuhan akibat FA terjadi pada usia produktif, yaitu di bawah usia 60 tahun," katanya.
Dikatakan Yoga, elumpuhan yang diderita pasien FA memiliki ciri khusus, seperti memiliki tingkat keparahan yang tinggi, bersifat lama dan sering berulang (relapse). "Rata-rata, sekitar 50 persen pasien yang terkena stroke ini akan mengalami stroke kembali dalam jangka waktu 1 tahun,” ungkapnya.
Menurut Yoga, terapi advanced yang dapat dilakukan bagi pasien FA saat ini, setidaknya terdapat 3 teknik yang dapat dilakukan. Yaitu teknik Ablasi kateter, melakukan pemasangan alat LAA Closure, serta pemakaian Obat Antikoagulan Oral Baru (OKB).
Di Indonesia, kata dia, SDM yang mampu menggunakan alat Ablasi kateter sudah cukup banyak. Namun, jumlah dan distribusi alat tidak merata di samping permasalahan lainnya, yaitu saat ini terapi OKB belum masuk ke dalam layanan BPJS kesehatan. Padahal, terapi OKB merupakan lompatan besar dalam terapi FA. Selain lebih efektif, OKB dapat mengatasi permasalahan risiko perdarahan, reaksi silang antarobat