REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jakarta menempati urutan ketiga dengan tingkat polusi udara terburuk di dunia berdasarkan data AirVisual pada Selasa (25/6) pukul 11.30 WIB. Di pagi hari, Jakarta bahkan menempati posisi pertama.
Hal ini menandakan bahwa DKI Jakarta masuk dalam kategori very unhealthy atau tidak sehat. AirVisual merupakan situs daring penyedia peta polusi.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dwi Oktavia, mengatakan lingkungan dengan paparan polusi udara tentu bisa mempengaruhi, baik terhadap penyakit menular maupun penyakit tidak menular.
Ia menjelaskan, polusi udara bisa memiliki dampak dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, menurutnya, polusi udara bisa memperburuk kondisi orang yang memiliki penyakit atau gangguan di saluran pernapasan.
Misalnya, orang yang memiliki riwayat alergi atau asma. Dalam waktu singkat, polusi udara tersebut bisa menyebabkan penderita mengalami keluhan.
Dalam jangka panjang, ia mengatakan lingkungan yang polusi udaranya tinggi bisa menyebabkan penyakit tidak menular. Risiko penyakit tersebut di antaranya, kanker paru, kanker Nasofaring, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Tidak hanya itu, Dwi mengatakan bahwa penyakit kencing manis dan penyakit jantung pun perlu diperhatikan, karena bisa juga disebabkan oleh polusi udara.
Karena itu, untuk menghindari dampak atau bahaya dari polusi udara ini, Dwi menyarankan agar pengendara motor atau orang yang terpapar polusi udara cukup tinggi mengenakan alat proteksi seperti masker. Menurutnya, masker yang dibutuhkan untuk melindungi dari polusi udara di luar ruangan ini ialah masker yang mencegah terhirupnya partikel polutan yang besar.
"Untuk sehari-hari di luar ruangan cukup memakai masker yang sifatnya anti debu, tidak perlu memakai masker N95," kata Dwi, saat dihubungi, Selasa (25/6).
Dwi melanjutkan, masker N95 tidak tepat untuk digunakan sebagai pelindung dari polusi udara. Pasalnya, masker N95 itu berfungsi untuk menyaring ukuran virus supaya tidak terhirup. Biasanya, masker N95 dipakai di layanan kesehatan.
Petugas kesehatan biasanya mengenakan masker N95 saat menangani pasien yang sakit akibat virus yang ditularkan melalui udara. Masker ini berfungsi untuk mencegah petugas agar tidak sakit karena tertular dari pasien.
Menurutnya, penggunaan masker berbeda-beda jenis sesuai kebutuhan. Misalnya, untuk petugas kesehatan yang melakukan tindakan fogging, maka masker yang digunakan adalah masker yang memiliki respirator.
Dalam aktivitas sehari-hari, Dwi menuturkan penggunaan masker juga melihat pada kondisi udara. Jika sangat berasap, tentu lebih nyaman memakai masker. Termasuk, saat berkendara motor.
Akan tetapi, jika masih dalam batasan yang wajar untuk berada di luar ruang, masker tidak selalu harus digunakan. Pasalnya, hidung sudah memiliki bulu atau rambut yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke hidung, sehingga debu tidak mencapai sistem pernapasan.
Meski dinilai berbahaya bagi kesehatan, Dwi menjelaskan bahwa risiko sakit bukan hanya disebabkan oleh polusi udara. Menurutnya, banyak faktor mempengaruhi orang mengalamisakit, termasuk faktor lingkungan, pelayanan kesehatan, genetik, dan perilaku hidup.
"Penyakit baik menular atau tidak menular bisa disebabkan oleh perilaku hidup yang tidak sehat. Kita punya risiko yang besar dengan atau tanpa masker untuk mengalami sakit, jika kita tidak menerapkan pola hidup sehat," tambahnya.
Selain berusaha mengurangi tingkat polusi udara dengan berbagai intervensi, ia menekankan bahwa dari segi kesehatan tubuh juga harus dalam kondisi bagus. Menurutnya, hanya menghindari atau mencegah polusi udara tidak bisa mencegah dari sakit. Hal itu karena timbulnya penyakit juga berkaitan dengan faktor lainnya. Misalnya, dari faktor merokok, tidak mengelola aktivitas fisik dan tidak istirahat dengan seimbang, perilaku hidup yang tidak sehat, dan sebagainya.