REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) dapat membuat pengalaman dunia maya terasa menjadi lebih nyata. Salah satu contoh teknologi AR yang populer adalah gim Pokemon GO. Namun, bisakah kehadiran teknologi VR/AR ini menggantikan kebutuhan untuk bermain di luar ruangan bagi anak-anak?
"Jawabannya tidak," ungkap spesialis anak konsultan tumbuh kembang dari RS Pondok Indah - Pondok Indah dr Catherine M Sambo SpA(K), di Jakarta.
Gim yang memanfaatkan teknologi VR maupun AR mungkin dapat menciptakan pengalaman dunia maya yang lebih nyata. Anak-anak mungkin memang akan diajak loncat dan berlarian ke sana-ke mari ketika memainkan gim dengan teknologi VR maupun AR.
Namun, hingga saat ini, tekonologi VR dan AR belum mampu memberikan rangsangan-rangsangan yang setara dengan kegiatan bermain di luar ruangan. Seperti diketahui, anak-anak membutuhkan berbagai macam rangsangan agar proses tumbuh kembangnya berjalan optimal.
Berdasarkan penelitian yang dimuat dalam jurnal Pediatric 2018, penggunaan tekonologi AR dalam Pokemon GO juga belum terbukti dapat meningkatkan aktivitas fisik anak.
Aktivitas fisik anak hanya meningkat di pekan pertama penggunaan gim Pokemon GO. Setelah itu, tak ada peningkatan aktivitas fisik berarti karena anak-anak mulai merasa bosan.
Di sisi lain, melakukan kegiatan di luar ruangan dapat memberi banyak rangsangan penting yang dapat mengoptimalkan proses tumbuh kembang anak. Anak-anak dapat belajar melihat warna, mengenali objek, merasakan sensasi panas atau dingin hingga membaui udara.
"Akan ada pengalaman inderawi dari dunia nyata yang sebenarnya (yang dirasakan anak ketika beraktivitas luar ruangan)," jelas Catherine.
Tentunya, orang tua perlu memperhatikan beberapa hal sebelum membiarkan anak beraktivitas di luar ruangan. Salah satunya adalah melakukan child proofing atau memastikan keamanan area bermain bagi anak.
Bila orang tua memastikan area bermain aman bagi anak, orang tua juga tidak akan banyak melarang anak-anak ketika mereka bermain. Dengan begitu anak akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk melakukan eksplorasi.
"Kalau apa-apa dilarang (karena tidak melakukan child proofing), kapan anak belajarnya," jelas Catherine.