REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polisi Inggris sedang menyelidiki dugaan pemerkosaan beramai-ramai terhadap avatar seorang gadis dalam game realitas virtual. Investigasi itu diyakini sebagai penyelidikan pertama yang melibatkan kasus gang rape di metaverse.
Dikutip dari laman New York Post, Kamis (4/1/2024), korban adalah seorang gadis di bawah 16 tahun. Dia sedang mengenakan headset realitas virtual (VR) dalam permainan imersif ketika avatarnya, yang merupakan representasi animasi dirinya, diperkosa oleh beberapa pria sekaligus.
Meskipun tidak mengalami luka fisik, gadis itu mungkin menderita trauma psikis luar biasa yang serupa dengan korban perkosaan di kehidupan nyata. "Ada dampak emosional dan psikologis pada korban yang memiliki dampak jangka panjang dibandingkan cedera fisik apa pun," kata seorang perwira senior kepolisian.
Namun, pihak berwenang Inggris khawatir ada kendala besar, yakni kesulitan menuntut pelaku berdasarkan undang-undang yang ada. Sebab, undang-undang mendefinisikan kekerasan seksual sebagai sentuhan fisik secara seksual tanpa persetujuan.
Investigasi tersebut juga menimbulkan pertanyaan lain, tentang apakah polisi harus menggunakan waktu dan sumber dayanya untuk menyelidiki kejahatan metaverse. Padahal, masih banyak pula kasus pemerkosaan di dunia nyata.
Menteri Dalam Negeri Inggris, James Cleverly, membela dengan mengatakan perlunya penyelidikan pemerkosaan yang menggunakan VR tersebut. Bagi sebagian orang, tindakan itu mungkin bukan sesuatu yang nyata, namun dampaknya tetap dirasakan korban secara nyata.
"Kita berbicara tentang seorang anak di sini, dan seorang anak yang mengalami trauma seksual. Hal ini akan menimbulkan dampak psikologis yang sangat signifikan dan kita harus sangat berhati-hati dan tak boleh mengabaikan hal ini," ungkap Cleverly.