REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makanan olahan semakin merajai menu harian bagi kebanyakan orang. Di Amerika Serikat jenis makanan ini rata-rata dikonsumsi oleh 60 persen masyarakatnya.
Sebuah studi kecil yang diterbitkan dalam jurnal Cell Metabolism menunjukkan harga terjangkau dan kepraktisan yang diberikan datang dengan biaya kesehatan yang menghantui. Sudah menjadi pengetahuan umum, makanan olahan diperkuat dengan banyak gula, garam, serta lemak yang menghantarkan pada berbagai masalah kesehatan.
Ketika orang konsumsi makanan yang diproses selama dua pekan berturutan, maka lebih banyak kalori yang masuk sehingga akan bertambah berat badan dan lemak tubuh lebih banyak. Bukan hal yang mengejutkan untuk menemukan makanan olahan bersifat tidak menyehatkan. Sebab, penelitian lain mengaitkannya dengan risiko kanker dan obesitas yang lebih tinggi.
Hal yang tidak terduga adalah gula, lemak, dan garam tampaknya bukan yang mendorong orang untuk makan berlebihan. Hasil itu pun tidak diduga oleh peneliti yang melakukannya.
"Saya terkejut dengan hasilnya. Ini adalah percobaan pertama yang benar-benar dapat menunjukkan ada hubungan sebab akibat antara sesuatu tentang makanan olahan, terlepas dari nutrisi yang ada, yang menyebabkan orang makan berlebihan dan menambah berat badan," kata penulis utama penelitian Kevin Hall, dikutip dari Time, Ahad (19/5).
Dalam studi tersebut, 20 orang dewasa yang sehat hidup selama sebulan di laboratorium. Mereka dipersiapkan semua makanan utama dan makanan ringan.
Dibuat dua rencana makan yang terdiri dari makanan proses atau tidak diolah. Mereka makan semua jenis itu secara bergantian selama dua pekan sekaligus.
Jenis makanan olahan yang diberikan seperti ravioli kalengan, nugget ayam, bagel, dan limun die. Sedangkan yang tidak diolah seperti salad, orak-arik telur, oatmeal, dan kacang-kacangan.
Kedua pola makan itu mengandung profil nutrisi yang hampir identik, dengan jumlah gula, lemak, natrium, serat yang sama dan banyak lagi. Namun, mengonsumsi dua jenis makanan tersbeut memiliki efek yang sangat berbeda.
Ketika orang makanan diproses, mereka makan sekitar 500 kalori lebih banyak per hari daripada yang mereka lakukan pada makanan yang kurang diproses. Berat badan mereka juga naik sekitar dua pon selama dua pekan dengan pola makan olahan dan kehilangan jumlah yang sama pada makanan yang tidak diproses.
Peserta yang terlibat pun makan lebih cepat ketika makan produk olahan, yang bisa menjadi salah satu alasan mengapa bertambah berat badan. “Makanan olahan cenderung lebih lunak, yang membuatnya lebih mudah dikunyah dan ditelan,” kata Hall.
Hall menjelaskan, salah satu teorinya ketika seseorang makan lebih cepat, maka tidak memberi cukup waktu untuk memberi sinyal pada otak. Kondisi ini membuat otak tidak menangkap sinyal ketika telah memiliki cukup kalori dan kenyang, sehingga berhenti makan.
"Pada saat otak mendapatkan sinyal itu, sudah terlambat, Anda sudah makan terlalu banyak," ujar peneliti senior di Institut Nasional Diabetes dan Penyakit Pencernaan dan Ginjal di National Institutes of Health.
Hormon orang juga berubah tergantung pada bagaimana makanan diproses. Meskipun orang mengatakan mereka merasa sama-sama kenyang dan puas pada kedua pola makan, ternyata makanan yang tidak diproses menyebabkan peningkatan hormon penekan nafsu makan yang disebut PYY dan penurunan hormon ghrelin kelaparan.
"Kedua perubahan hormon ini yang terjadi, untuk alasan yang kami tidak sepenuhnya pahami, cenderung mendukung pengamatan kami,” kata Hall.
Pada makanan yang tidak diproses, orang-orang secara spontan mengurangi asupan kalori. Kondisi ini mengarah pada penurunan berat badan dan kehilangan lemak tubuh, tanpa mereka harus menghitung kalori atau bahkan dengan sengaja melakukannya.
Menghindari makanan olahan tidak mudah, terutama secara finansial. Dalam studi tersebut, bahan untuk makanan yang tidak diproses harganya sekitar 40 persen lebih tinggi daripada makanan olahan.