REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kanker serviks merupakan jenis kanker keempat yang paling sering mengenai perempuan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan ada sekitar 570 ribu kasus kanker serviks baru selama 2018.
"Sebuah kenyataan yang tidak mengenakkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan jumlah penderita kanker serviks (mulut rahim) terbanyak di dunia," jelas dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan onkologi ginekologi RS Pondok Indah – Pondok Indah Dr dr Fitriyadi Kusuma SpOG(K) Onk dalam pernyataan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Kanker serviks pada stadium awal seringkali tidak bergejala sehingga tidak disadari oleh perempuan. Akibatnya, cukup banyak penderita kanker serviks yang terlambat mendapatkan pertolongan medis.
Keterlambatan ini tak jarang menurunkan harapan hidup yang dimiliki penderita kanker serviks. Tak heran bila kanker serviks disebut sebagai pembunuh diam-diam bagi perempuan.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi human papilloma virus (HPV) ini juga termasuk penyakit yang berkembang dengan lambat alias slow-growing. Diperlukan fase yang panjang dari tahap infeksi HPV untuk bisa menjadi kanker.
Lebih lanjut, Fitriyadi menjelaskan bahwa HPV memiliki masa inkubasi selama sembilan sampai 12 bulan. Setelah itu, baru memasuki fase lesi pra kanker. Ada tiga sub bagian pada fase ini, yaitu atipikal, low grade lession, dan high grade lession. Sampai pada tahap low grade lession, masih ada kemungkinan infeksi HPV menghilang meski tanpa tindakan medis.
"Jika terus berkembang, barulah menjadi kanker," tambah Fitriyadi.
Mengingat penyebab penyakitnya sudah diketahui dan perjalanan penyakitnya yang cukup lambat, kanker serviks sangat mungkin dicegah. Salah satu cara pencegahan kanker serviks yang sangat direkomendasikan adalah vaksinasi HPV.
Selain itu, skrining juga perlu dilakukan untuk menemukan kanker serviks dalam tahap awal sehingga lebih mudah untuk ditangani. Skrining tetap perlu dilakukan oleh perempuan yang sudah divaksinasi HPV karena sekitar 30 persen kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV yang tidak bisa dicegah melalui vaksin saat ini.
Salah satu metode skrining yang bisa dilakukan adalah pap smear untuk mengambil contoh sel-sel yang dilepaskan dari lapisan epitel serviks. Proses pengambilan sampel pun sangat cepat, hanya dalam hitungan detik. Pasien hanya diminta untuk berbaring di ranjang dan membuka kakinya, setelah itu vagina akan dibuka dengan alat bernama spekulum.
Setelah itu, tenaga kesehatan akan mengambil sampel dengan menggunakan kuas yang tipis dan halus. Sampel ini akan diperiksa di laboratorium oleh dokter spesialis patologi anatomi.
Namun, hasil pap smear yang positif tidak serta-merta berarti bahwa perempuan pasti menderita kanker serviks. Itu hanya menunjukkan bahwa ada sel yang tidak normal.
"Untuk memastikan dia kanker atau nggak kanker, baru kita rujuk pasiennya," ungkap perwakilan Yayasan Kanker Indonesia DKI Jakarta dr Venita Eng MSc saat ditemui Republika.co.id.
Perempuan dengan hasil pap smear positif akan dirujuk ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan biopsi dengan dokter kandungan. Dari hasil pemeriksaan biopsi inilah dokter bisa menegakkan diagnosis penyakit.
"Skrining itu tahap pertama banget untuk menyeleksi siapa yang harus dibiopsi karena nggak semua orang harus dibiopsi," terang Venita.
Venita mengatakan perempuan sebaiknya melakukan skrining kanker serviks secara rutin hingga berusia 65 tahun. Seperti anjuran WHO, Venita mengatakan pap smear minimal dilakukan tiga tahun sekali.
Akan lebih baik lagi jika pap smear bisa dilakukan tiap tahun. Venita mengungkapkan, pembiayaan untuk pap semar bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan.