REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian perokok aktif yang ingin terbebas dari ketergantungannya terhadap rokok enggan beralih sementara ke rokok elektrik. Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) mencermati fenomena itu terjadi akibat masih adanya stigma terhadap vaping sebagai bagian dari konsep harm reduction.
Menurut Dimasz Jeremia, seorang mantan perokok aktif yang juga merupakan pembina AVI, masih banyak orang yang berpikiran bahwa rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok tembakau. Padahal, ia menyebutkan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa rokok elektrik dapat membantu perokok berhenti.
Perokok aktif banyak menolak untuk mempercayai hal tersebut. Mereka tetap mengira vaping tak ubahnya rokok konvensional.
“Kesalahpahaman seperti ini terus menjadi tantangan yang signifikan bagi penerapan tobacco harm reduction dan pada akhirnya akan menghambat tercapainya tujuan positifnya,” kata Dimasz dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Senin (18/3).
Dia menjelaskan harm reduction pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi risiko yang berkaitan dengan suatu kebiasaan buruk. Dalam konteks tobacco harm reduction, pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi rokok tembakau bagi kesehatan dengan tujuan jangka panjang untuk membantu perokok keluar dari kebiasaannya.
Strategi yang digunakan cukup sederhana dan ditujukan untuk perokok yang mengalami kesulitan untuk berhenti. Perokok hanya ditawarkan produk alternatif yang dapat memberikan pengalaman serupa dengan merokok untuk membantu mereka melalui proses transisi hingga akhirnya berhenti secara total.
Contoh pengganti rokok tembakau yang cukup dikenal oleh publik adalah produk-produk potentially reduced-exposure products (PREPs) alias terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy, NRT), electronic nicotine delivery system (ENDS), dan heat-not-burn (HNB).
Dimaz menjelaskan, metode tersebut diajukan sebagai bagian dari strategi tobacco harm reduction. Penerapannya merujuk pada hasil studi Public Health of England pada tahun 2015 yang menemukan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih rendah risikonya dibandingkan dengan rokok konvensional.
Temuan tersebut kemudian didukung oleh penelitian dalam New England Journal of Medicine yang dipublikasikan bulan Januari lalu. Penelitian itu menyimpulkan bahwa penggunaan rokok elektrik hampir dua kali lebih efektif dalam membantu perokok berhenti dibandingkan dengan produk-produk lain seperti, NRT.
“Namun sayangnya, temuan-temuan ini masih diabaikan oleh banyak pihak,” ungkap Dimasz.
Menurut Dimasz, selama ini perokok di Indonesia hanya diperlakukan dengan dua pilihan, yakni berhenti atau menerima konsekuensinya. Padahal, seharusnya ada pilihan lain di antara keduanya, yaitu pilihan untuk mengurangi sebelum akhirnya dapat berhenti secara total.
Sekitar 88 persen perokok pernah memiliki keinginan untuk berhenti paling tidak sekali dalam hidupnya. Akan tetapi, hanya tiga persen dari mereka yang sukses berhenti setelah mencoba tanpa bantuan apa pun.
“Kalau 85 persen sisanya bisa paling tidak mengurangi risiko bahayanya, menurut saya ini progress yang positif. Tidak berhenti total secara langsung bukan berarti tidak ada hasil,” jelas dia.
Untuk itu, Dimaz mengatakan dalam hal ini, peningkatan kesadaran menjadi penting dalam mengurangi stigma dan kesalahpahaman publik. Masyarakat yang lebih terbuka dinilai perlu untuk memotivasi perokok untuk meninggalkan kebiasaannya mengonsumsi rokok tembakau.
Peneliti memang terbagi dalam menilai keamanan rokok elektrik. Perangkat bertenaga baterai yang dapat mengubah cairan nikotin menjadi uap ini dipasarkan sebagai produk "aman".
Seperti dilansir HealthLine pada 15 November 2018, studi yang diterbitkan dalam jurnal Toxics mengungkapkan bahwa cairan perasa rokok elektrik yang menguap akan menjadi aldehida yang berbahaya. Adelhilda merupakan komponen organik yang erat kaitannya dengan penciptaan aroma.
Dalam studi percontohan kecil, dari 12 peserta, peneliti melakukan analisis kimia dari napas peserta sebelum dan sesudah menggunakan rokok elektronik. Mereka menemukan bahwa konsentrasi rata-rata aldehida dalam napas sepuluh setengah kali lebih tinggi daripada sebelum vaping. Selain itu, konsentrasi bahan kimia berbahaya seperti formaldehid dalam napas adalah "ratusan kali lebih rendah" daripada di dalam uap itu sendiri.