REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fashion yang ramah lingkungan (eco-fashion) dan fashion terbarukan (sustainable fashion) beberapa tahun belakangan menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Terlebih ketika Ellen MacArthur Foundation melansir data yang menyatakan polusi yang dihasilkan dari industri fashion sama dengan polusi yang dihasilkan oleh batu bara, migas, bahkan petrokimia.
Dalam data laporan yang dilansir pada 2017 lalu itu, MacArthur menyatakan, setiap detik terdapat 1 truk limbah tekstil yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar. Kerugian setiap tahun diperkirakan mencapai 500 miliar dolar AS dari pakaian yang jarang dipakai atau tak pernah didaur ulang.
Perancang busana Merdi Sihombing menyikapi isu ini dengan melakukan berbagai aksi nyata untuk melakukan re-thinking fashion, sebuah gerakan yang sejak 2018 lalu marak dilakukan pegiat fashion dunia. Sepanjang 2018, Merdi melakukan community development di Alor, Rote Ndao, Banyuwangi, dan Lombok untuk mengajarkan berbagai teknik yang menerapkan konsep sustainable fashion, seperti penggunaan pewarna alam, benang organik, maupun pengelolaan limbah tekstil.
Merdi juga menggagas Eco-Fashion Week Indonesia 2018 yang digelar di Gedung Stovia, Jakarta, dan menjadi pembicara di berbagai event yang mengusung prinsip sustainable lifestyle. Mengawali 2019, tepatnya di pertengahan Februari Merdi diundang untuk membawakan karya sustainable fashion-nya di London yang diprakarsai oleh Independent London Fashion Week Designer's Association (ILFWDA).
Sebanyak 15 koleksi AW 2019 terbarunya dipergelarkan bersama karya-karya Jeff Garner dan tujuh desainer sustainable fashion independen dari mancanegara.
“Keikutsertaan saya di ILFWDA ini direkomendasikan oleh Jeff Garner yang karya-karya sustainable fashion-nya sudah dikenal dunia melalui brand Prophetik. Koleksi saya kali ini juga mendapatkan dukungan dari Lenzing Indonesia–PT South Pacific Viscose, produsen benang ramah lingkungan, yakni Lyocell A 100 yang kemudian diberi pewarna alam sebelum ditenun menjadi kain-kain indah oleh perempuan-perempuan penenun di berbagai pelosok terpencil di Indonesia. ” kata Merdi Sihombing berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/3)
Sirat
Tema “Sirat” diangkat Merdi Sihombing sebagai sajian utamanya. Sirat adalah produk anyaman benang yang dikerjakan dengan teknik table weaving. Helai demi helai sirat yang berbentuk seperti pita itu dijahit menjadi satu, hingga membentuk gaun panjang, jumpsuit maupun long coat yang diberi aksentuasi manik metal spike.
“Sirat biasanya digunakan sebagai hiasan kepala saat ritual adat. Bentuknya menyerupai pita sepanjang 1 meter dengan lebar 5-7 cm. Sirat biasanya terdiri atas tiga warna yang melambangkan dunia dengan komposisi warna putih di atas, merah di tengah dan hitam di bawah. Motif ini disebut dengan istilah sacred geometry.” kata Merdi menjelaskan dengan detil.
Merdi juga menyuguhkan koleksi klasik tenun ikat Hitam Putih, dan sejumlah koleksi dari kain yang diproduksi di Umapura Alor, sebuah atol kecil di Pulau Ternate.
“Umapura Alor yang merupakan pulau terluar di Indonesia bagian utara. Tahun lalu saya melakukan community development di pulau yang hanya punya satu sumber mata air bersih itu. Hutan-hutan di sana masih dijaga ketat oleh masyarakat, karena dari hutan itulah mereka mendapatkan perwarna alam. Tanaman kolam susu menghasilkan warna hijau, indigo untuk warna biru, atau akar mengkudu untuk warna merah. Saya juga menggunakan limbah limbah rebusan cumi-cumi dan teripang sebagai alternatif perwarna alam dalam koleksi ini.”
Selang sepekan dari London, karya-karya Merdi kembali ditampilkan di TRESemmé Bangladesh Fashion Week. “Maheen Khan, presiden dari Fashion Design Council of Bangladesh mengundang saya mewakili Indonesia karena menilai Indonesia dan Bangladesh memiliki kesamaan dalam menanggapi isu sustainable fashion,” kata Merdi
Duta Besar Indonesia untuk Bangladesh dan Nepal, Rina P Soemarno, melalui keterangan resmi KBRI Dhaka menyatakan, masyarakat Bangladesh sangat mengapresiasi kerajinan asli buatan tangan. Sehingga, tenun dan batik berpeluang besar untuk disukai masyarakat Bangladesh.