REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Makanan cepat saji saat ini kurang sehat dibanding dengan 30 tahun lalu, sekalipun sudah dikombinasikan dengan salad dalam menu. Fakta tersebut disampaikan dalam penelitian baru yang diterbitkan dalam Journal of Academy of Nutrition and Dietetics. Penemuan itu menjadi serius mengingat banyaknya makanan cepat saji yang dikonsumsi masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Para peneliti melakukan kajian berdasarkan 10 brand makanan cepat saji paling populer di tiga tahun representatif dalam rentang tiga dekade, yakni 1986, 1991 dan 2016. Mereka terfokus pada makanan pembuka, tambahan, dan makanan penutup. Peneliti menganalisis perubahan dalam ukuran porsi, kalori, dan kandungan natrium dari waktu ke waktu.
Fakta pertama yang didapatkan adalah, variasi makanan cepat saji semakin meluas sekitar 226 persen. Artinya, terdapat 2 item baru yang disajikan restoran setiap tahun. Dilansir di Forbes, Jumat (1/3), beberapa di antaranya sudah menyajikan pilihan lebih sehat dibanding dengan yang lain.
Tapi, secara umum, data mengenai kalori, porsi, dan natrium tidak terlalu menggembirakan. "Semuanya memburuk (meningkat) dari waktu ke waktu dan tetap tinggi," ujar Ketua Peneliti Megan A McCrory dari Departemen Ilmu Kesehatan di Universitas Boston.
Kalori dalam makanan pembuka, tambahan dan penutup mengalami peningkatan secara signifikan, khususnya dikarenakan terjadi peningkatan ukuran porsi. Studi menemukan, setiap dekade, ukuran hidangan meningkat hingga 13 gram atau setara dengan sekitar 30 kalori per dekade. Sementara, makanan penutup naik 24 gram atau sekitar 62 kalori per dekade.
Porsi pada makanan tambahan cenderung stabil, tapi kandungan kalori mereka masih meningkat sekitar 14 kalori per dekade. Kandungan natrium juga mengalami lonjakan pada tiga kategori. Hampir 14 persen di makanan pembuka, 12 persen pada makanan tambahan dan 3,6 persen di makanan penutup, berdasarkan nilai yang direkomendasikan tiap hari.
Temuan lain dari penelitian itu adalah, sebagian besar menu baru cenderung lebih tidak sehat dibanding dengan menu-menu reguler atau menu lama. Di sisi lain, empat dari 10 restoran memiliki data kandungan kalsium dan zat besi. Untuk restoran-restoran ini, persentase kandungan kalsium pada makanan penutup meningkat sebesar 3,9 persen per dekade, sementara persentase kadar besi meningkat 1,4 persen per dekade.
McCrory menjelaskan, kenaikan itu menjadi perubahan positif. Tapi, masyarakat tetap tidak boleh mengonsumsi makanan cepat saji dengan tujuan untuk mendapatkan lebih banyak kalsium dan zat besi. "Sebab, kalori dan natrium dalam makanan itu sangat tinggi," ucapnya.
McCrory berharap, penelitian ini dapat mendorong terciptanya makanan cepat saji yang lebih sehat. Sebagai permulaan, restoran sebaiknya menampilkan kalori pada menu. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat menyadari dan memantau berapa banyak kalori dan natrium yang mereka makan di tiap menunya.