Senin 25 Feb 2019 11:31 WIB

Pentingnya Rutin Periksa Tekanan Darah di Rumah

Pengukuran tekanan darah bisa menilai hasil pengobatan pada pasien tertentu.

Rep: Santi Sopia/ Red: Indira Rezkisari
Hipertensi atau tekanan darah tinggi.
Foto: ist
Hipertensi atau tekanan darah tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang diderita hampir 1 miliar penduduk dunia dan diperkirakan bisa diderita 1,5 miliar penduduk pada 2025. Berdasarkan data WHO 2018, prevalensi hipertensi di dunia sebesar 40 persen dan rata-rata dimulai pada usia 25 tahun.

President Indonesian Society of Hypertension (InaSH), dr Tunggul D. Situmorang, SpPD-KGH menekankan pentingnya deteksi dini. Banyak orang tidak sadar jika dirinya berpotensi ataupun sudah terkena hipertensi.

Baca Juga

Saat ini, tekanan darah juga bisa diperiksa di rumah, salah satunya menggunakan tensi digital. Dengan mengukur tekanan darah di rumah, selain didapatkan adanya rerata tekanan darah sebenarnya, juga akan didapatkan informasi besarnya variasi tekanan darah.

"Pengukuran tekanan darah di rumah atau disebut ABPM juga perlu dilakukan untuk menilai hasil pengobatan pada pasien-pasien tertentu," katanya di Jakarta.

Dia mengatakan beberapa kondisi dapat mengakibatkan perbedaan hasil pengukuran tekanan darah, antara lain white coat-hypertension dan masked-morning hypertension. White coat yaitu kondisi klinis tekanan darah pasien yang secara persisten tinggi bila diukur oleh dokter atau perawat di RS/klinik namun normal di lain waktu atau di rumah). Sedangkan masked morning yaitu kondisi tekanan darah secara persisten normal di RS dan tinggi di lain waktu.

Ada tiga karakter yang menyatakan hipertensi lebih sering terjadi di negara Asia. Pertama, penyakit strok terutama stroke hemoragic dan gagal jantung stemik yang erat kaitannya dengan hipertensi jauh lebih banyak terjadi di Asia.

Kedua, berdasarkan data Asia Pacific Cohort Studies Collaborations, penyakit jantung dikarenakan hipertensi lebih bayak terjadi pada pasien Asia dibandingkan pasien Australia dan Selandia Baru. Ketiga, secara genetik, Asia memiliki faktor salt-sensitive gene polymorphism dan lebih banyak mengonsumsi garam.

"Hipertensi merupakan penyakit yang sifatnya katastropik dan dapat menyebabkan kerusakan organ seperti jantung dan ginjal, yang telah menyita beban negara sangat besar," tambahnya.

Ketua Panitia 13th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2019 dr Djoko Wibisono, SpPD-KGH, mengatakan masyarakat Indonesia dan dunia perlu semakin sadar dengan bahaya hipertensi sebagai faktor risiko untuk penyakit lain seperti kerusakan organ sasaran. Yaitu seperti strok, jantung dan ginjal yang juga semakin tinggi.

"Selama ini hipertensi dikaitkan dengan gagal ginjal. Tapi ternyata juga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh," ujar Djoko.

Hipertensi atau tekananan darah tinggi merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang dapat  menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi 140/90 mmHg.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement