Rabu 30 Jan 2019 10:11 WIB

Makanan Siap Saji Lebih Tinggi GGL dari Kemasan

Biasakan membaca label gizi saat memilih produk makanan.

Rep: Santi Sopia/ Red: Indira Rezkisari
Makanan olahan termasuk makanan yang paling banyak kandungan gula garamnya.
Foto: Antara
Makanan olahan termasuk makanan yang paling banyak kandungan gula garamnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekhawatiran penyakit tidak menular, seperti strok, jantung, kolesterol, diabetes dikaitkan dengan konsumsi gula, garam, lemak (GGL) yang berlebihan setiap harinya. Konsumsi GGL yang dianjurkan pemerintah melalui Permenkes Nomor 63 Tahun 2005 menyampaikan berapa banyak sebaiknya konsumsi GGL dalam sehari.

Anjuran itu dikenal dengam sebutan G4G1L5, yaitu konsumsi gula 50 gram atau empat sendok makan per hari. Garam lima gram atau satu sendok teh, dan lemak kurang lebih lima sendok makan.

Menurut Ahli Gizi Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes, sebenarnya kandungan GGL pada makanan siap saji biasanya cukup tinggi. Sedangkan kekhawatiran terhadap produk dalam kemasan, bisa diantisipasi dengan mengecek komposisi yang dicantumkan.

"Karena penelitian kita pun menemukan bahwa sumber gula terbesar itu dari makanan siap saji di sekitar kita, seperti nasi uduk, burger, minuman bukan kemasan, yang tidak diuji BPPOM, tapi kalau makanan kemasan diuji BPPOM," kata Rita di Jakarta.

Dulu, makanan instan identik dengan tinggi natrium, gula, lemak jenuh, BTP (pengawet). Tapi, Rita mengatakan, dengan tekonologi pangan yang semakin canggih, makanan kemasan tidak lagi seperti itu. Produsen bisa mengeliminasi kadar-kadar negatif tadi, tidak ada lagi menggunakan BTP, natrium tinggi, rendah GGL.

"BTP itu untuk masa simpan, pengawet, penguat warna rasa. Tapi karena mesin sudah canggih, bisa menjadikan makanan sangat kering sehingga daya simpannya jadi panjang," lanjutnya.

Dia menyarankan membaca label kemasan terlebih dulu dan melihat apakah kebutuhan gizi untuk tunuh memadai atau tidak. Cek zat gula, natrium sudah direndahkan atau tidak, lalu kadar GGL sudah sudah rendah atau belum.

"Lalu semakin tidak ada BTP itu bagus. Kan ada glutamat, BTP itu memperpanjang masa simpan, bujet hemat, tapi kalau dengan teknologi mesin, bujet memang lebih tinggi," tambahnya.

Sedangkan untuk susu formula, menurut Rita, tidak ada istilah instan karena terkait standar internasional. Dia juga setuju dengan program Kemenkes agar setiap produk kemasan mencantumkan kadar GGL berikut pesan kesehatannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement