REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pengadilan tertinggi Korea Selatan (Korsel), Kamis (29/11) memutuskan perusahaan Jepang Mitsubishi Heavy Industries Ltd harus memberikan ganti rugi kepada 10 warga Korsel atas kerja paksa selama Perang Dunia II. Keputusan itu menggemakan amar penting Mahkamah Agung pada bulan lalu, yang mendukung warga Korsel meminta ganti rugi dari Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp Jepang untuk kerja paksa pada masa perang.
Putusan itu mengukuhkan keputusan pengadilan banding pada 2013, yang mengharuskan Mitsubishi membayar 80 juta won (lebih dari Rp 1 miliar) untuk masing-masing lima pekerja atau keluarga mereka sebagai ganti rugi. Dalam putusan terpisah, pengadilan itu juga memerintahkan Mitsubishi membayar hingga 150 juta won kepada masing-masing lima penggugat lain atau keluarga mereka.
Mitsubishi menyebut putusan itu sangat disesalkan, dengan mengatakan dalam pernyataan perusahaan tersebut akan membahas tanggapannya dengan pemerintah Jepang. Jepang dan Korsel berbagi sejarah pahit.
Jepang menjajah Korsel pada 1910-1945 atas semenanjung Korea dan penggunaan wanita penghibur. Banyak dari mereka adalah orang Korea yang dipaksa bekerja di rumah bordil semasa perang.
Sengketa sejarah perang sejak lama menjadi batu sandungan hubungan di antara tetangga Asia Timur tersebut, yang memicu kekhawatiran itu dapat membahayakan upaya bersama untuk mengendalikan kegiatan nuklir Korea Utara. Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono mengeluarkan pernyataan menyebut putusan pengadilan itu betul-betul tidak dapat diterima. Kementerian itu memanggil duta besar Korea Selatan untuk menyampaikan keluhan.
"Keputusan betul-betul menjungkirkan landasan hukum hubungan ramah dan kerja sama di antara kedua negara itu," kata Kono.
Kono mendesak Seoul segera mengambil tindakan untuk memperbaiki kerusakan dan biaya tidak benar yang menimpa perusahaan Jepang. Jika tidak, Jepang akan mempertimbangkan pilihannya, termasuk merujuk perkara tersebut ke mahkamah dunia.
Kementerian Luar Negeri Korsel menyatakan penyesalan atas yang disebutnya tanggapan berlebihan Jepang. Pemerintah Korsel juga memanggil duta besar Jepang dan mendesak menahan diri.
"Kami akan menyusun tanggapan dengan cara yang dapat menyembuhkan rasa sakit dan luka korban, tapi pada saat sama memupuk hubungan ke depan dengan Jepang. Tapi, pemerintah harus menghormati keputusan pengadilan di bawah asas pemisahan kekuasaan," kata juru bicara kementerian itu, Roh Kyu-deok, dalam jumpa pers.
Perkara sebelumnya, yang diadukan kelompok lima mantan buruh, yang dibawa di Jepang, ditolak dengan alasan hak pemulihan mereka berakhir dengan perjanjian pemulihan hubungan diplomatik Seoul dengan Tokyo pada 1965. Tapi, Mahkamah Agung Korsel memperkuat putusan pada bulan lalu bahwa pendudukan atas semenanjung itu oleh Jepang tidak sah.
"Perjanjian itu tidak mencakup hak korban kerja paksa atas ganti rugi atas kejahatan terhadap kemanusiaan oleh perusahaan Jepang, yang berhubungan langsung dengan kekuasaan jajahan tidak sah pemerintah Jepang dan serbuan terhadap semenanjung Korea," kata pernyataan pengadilan tersebut.
Kim Seong-ju, penggugat berusia 90 tahun dalam perkara kedua, menyatakan dikirim ke Jepang ketika berusia 15 tahun atas saran gurunya yang berkebangsaan Jepang.
"Saya diberitahu saya bisa ke sekolah menengah dan tinggi dan belajar lebih banyak, tapi ternyata harus bekerja di pabrik sepanjang waktu," kata Kim dalam jumpa pers sesudah putusan itu sambil menunjukkan tangannya dengan luka permanen.