REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis paru dari RSPAD Gatot Soebroto, Brigjen TNI Alex Ginting mengatakan pasien kanker paru biasanya terlambat mengetahui penyakitnya karena menganggap gejala batuk yang terjadi adalah batuk ringan. "Sering ada delay (terlambat deteksi) di pasien karena menganggap batuk pilek itu penyakit 'warung' sehingga dengan meminum obat-obat warung bisa selesai (sembuh)," kata Alex dalam konferensi pers bertajuk Bulan Peduli Kanker Paru, di Jakarta, Rabu (28/11).
Ia meminta masyarakat memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit bila mengalami batuk berkepanjangan. Ia mengatakan, batuk yang terjadi hingga empat pekan berturut-turut patut dicurigai merupakan gejala penyakit tuberkulosis (TB). Sementara batuk yang belum sembuh hingga mencapai delapan pekan kemungkinan disebabkan keganasan atau kanker paru.
"Orang sering berpikir (batuk) karena alergi dan THT sehingga delay (telat penanganan). Kalau batuk empat pekan, curiga kena tuberkulosis, apalagi kalau batuknya sampai delapan pekan, (pasien) usia diatas 40 tahun, kita curiga itu bukan TB, tapi curiga juga dengan keganasan," katanya.
Orang yang menderita kanker paru tahap awal, biasanya tidak menampakkan gejala apa pun. Gejala hanya akan muncul ketika perkembangan kanker telah mencapai suatu tahap tertentu. Gejala tersebut meliputi batuk yang berkelanjutan hingga akhirnya mengalami batuk darah, mengalami sesak nafas dan nyeri di dada, kelelahan tanpa sebab yang jelas, dan pembengkakan pada muka atau leher dan sakit kepala.
Alex meminta agar pasien kanker mengikuti seluruh prosedur pengobatan rumah sakit. "Kalau mengikuti desain pengobatan rumah sakit, harus diikuti semuanya. Jangan siklus satu, ikut pengobatan RS, siklus dua, pergi ke 'Gunung Kidul'," katanya.
Data Globocan 2018 menyatakan kanker paru adalah kanker yang paling banyak diderita oleh pria dan wanita di seluruh dunia dibandingkan dengan jenis kanker lain. Kanker paru merupakan penyebab utama dari kematian. Di Indonesia, 14 persen dari total kematian karena kanker disebabkan kanker paru yang menjadikan penyakit ini sebagai pembunuh nomor satu.
Ketua Cancer Information and Support Center (CISC), Aryanthi Baramuli Putri mengatakan, kanker paru memiliki angka harapan hidup yang rendah, yaitu sebesar 12 persen jika dibandingkan dengan kanker lain. Hal ini karena sebagian besar kanker paru terdiagnosis pada stadium yang lanjut.
Melakukan deteksi dan diagnosis sejak dini menjadi sangat penting bagi orang-orang dengan risiko tinggi menderita kanker paru agar bisa mendapatkan pengobatan yang tepat dan bermutu. "Kanker paru memiliki jenis mutasi yang berbeda-beda yang perlu dipahami oleh masyarakat dan praktisi kesehatan dengan tepat. Kepedulian pasien terhadap kanker paru dapat dibangun dari upaya promotif dan preventif yang digaungkan oleh berbagai pemangku kepentingan secara berkesinambungan melalui berbagai kegiatan dan saluran komunikasi," kata Aryanthi.
Data Globocan 2018 juga mengungkapkan angka mortalitas karena kanker paru di Indonesia mencapai 88 persen. Karena itu, akses terhadap diagnosa serta pengobatan kanker paru sangat penting untuk memperpanjang harapan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.