Sabtu 03 Nov 2018 05:05 WIB

Psikolog: KDRT Berawal dari Stres

Stres adalah reaksi tubuh dan pikiran terhadap tantangan dan tuntutan sehari-hari.

Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Elizabeth T Santosa mengemukakan kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin meroket ditengarai dipicu oleh stres. Salah satu di antaranya, kasus pembunuhan satu keluarga yang terjadi baru-baru ini di Palembang.

"Kasus kekerasan dalam keluarga itu dipicu awalnya dari ketidakbahagiaan hubungan istri dan suami. Itu stimulus awalnya. Sebenarnya, banyak trauma yang belum selesai dalam diri sendiri," katanya seusai media workshop Tension and Trauma Releasing Exercises (TRE) di Jakarta, Jumat (2/11).

Penulis buku Raising Children in Digital Era ini memaparkan stres adalah reaksi tubuh dan pikiran terhadap tantangan dan tuntutan sehari-hari. "Penyebab stres antara lain kondisi biologis. Misalnya, sakit atau kecelakaan. Kemudian, lingkungan, tinggal di lingkungan yang bising, berpolusi dan tidak sehat. Lalu, pola pikir, seperti apa yang diharapkan berbeda dengan realitas," kata Lizzie, panggilan akrab Elizabeth. 

Hal tersebut juga termasuk perilaku negatif seperti gaya hidup tidak sehat. Contohnya, merokok, mengonsumsi narkoba, meminum alkohol, dan kurang aktivitas fisik.

"Kondisi dan dinamika kehidupan juga menyebabkan stres, seperti perceraian, kematian, pemecatan, konflik dengan kolega dan pasangan," ujarnya.

photo
Psikolog Elizabeth T Santosa. Foto: Republika/Ani Nursalikah

Berkaitan dengan kasus kekerasaan rumah tangga, lebih banyak disebabkan oleh domestic affairs dan hubungan. "Karena pasangan itu yang paling mengerti diri kita. Pasangan tahu apa yang paling bisa memicu kita. Begitu ada sesuatu yang 'menusuk', bisa menyebabkan stres, marah, hingga pembunuhan," katanya.

Menurutnya, stres sudah dirasakan manusia sejak awal kehidupan. Tanpa disadari ada beberapa kondisi stres yang menyebabkan shock dan trauma. Misalnya, tertimpa bencana alam, korban pelecehan, kecelakaan, dan lain sebagainya.

Menurut dia, trauma menyebabkan reaksi yang intens, seperti ketakutan, kemarahan, kesedihan, ataupun rasa bersalah, bila tidak diintervensi akan berdampak panjang dan termanifestasi dengan munculnya gangguan fisik dan emosi. Ia menyarankan agar orang sejak dini mengintervensi dengan melakukan pelepasan stres melalui kecerdasan tubuh yang disebut TRE.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement