Rabu 31 Oct 2018 09:18 WIB

Duh, Masih Jamak Ibu Anggap SKM Sebagai Susu

SKM banyak mengandung lemak, gula, karbohidrat, sumber dari penyakit tidak menular

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Warga memilih produk susu kental manis di Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (7/7).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Warga memilih produk susu kental manis di Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (7/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Susu Kental Manis (SKM) yang bisa digunakan sebagai topping makanan dan bahkan minuman sehat jamak dikonotasikan sebagai susu. Padahal, SKM bukanlah susu. Selain karena kandungan gulanya yang cukup tinggi, SKM hanya sedikit kandungan susunya.

Bahkan jika diberikan secara terus menerus kepada anak, justru dapat meneyebabkan penyakit tidak menular, seperti obesitas dan diabetes. Hal ini terungkap dalam diskusi  bertema “Mewujudkan Indonesia Emas 2045, Bijak Menggunakan SKM" yang digelar oleh Pengurus Pusat Muslimat NU dan Yayasan Abhiparaya Insan Cendikia Indonesia (YAICI), di Semarang, Selasa (30/10).

Menurut Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Semarang, Endah Emayanti mengatakan, selama puluhan tahun iklan SKM yang ditayangkan, baik di televisi, radio, media massa, hingga media daring, menyesatkan. Alasannya karena menyebutkan SKM sebagai produk susu. Padahal SKM banyak mengandung lemak, gula, karbohidrat, yang menjadi sumber penyakit tidak menular.

Sebaliknya, tidak ada nutrisi paling lengkap selain Air Susu Ibu (ASI). "Oleh karena itu, SKM jangan diberikan kepada bayi dan balita karena dapat menyebabkan stunting alias gagal tumbuh, ungap dia.

Kekurangan asupan nutrisi, lanjut Endah, juga bisa menyebabkan stunting dan balita kurang gizi. "Padahal tahun 2045 kita tengah menyiapkan generasi emas," tegasnya.

Hal ini diamini oleh Ketua YAICI, Arif Hidayat. Ia menjelaskan selama ini, kesehatan masyarakat terganggu akibat iklan yang menyesatkan.

Salah satu iklan yang mengecoh para ibu adalah produk SKM yang disebut sebagai susu.  Sejak 1992, produk SKM sudah ada dan iklannya diedarkan  sebagai susu. “Jadi, tak salah jika sampai saat ini  banyak ibu menganggap SKM adalah susu," jelasnya.

Untuk meluruskan persepsi  itu, ia meminta pemerintah dalam hal ini BPOM tegas menegur produsen yang menyalahi aturan cara beriklan maupun membuat label pada kemasan,” tandasnya. 

Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Penindakan BPOM Semarang, Zeta Rina Pujiastuti menyatakan bahwa pengawasan terhadap produk pangan, dalam hal ini SKM menjadi tanggung jawab Bersama.

Pemerintah, dalam hal ini BPOM hanya bisa mengawasi 30 persen. Sisanya 70 persen menjadi kewajiban  produsen, NGO, komunitas, Yayasan dan masyarakat. 

“Mari kita sama- sama mengawasi produk pangan yang beredar di pasaran. Jika ada ketidaksesuaian kandungan dengan iklan, maka laporkan ke BPOM, kami akan menindaklanjutinya,” kata Zeta. 

Saat ini BPOM telah mengeluarkan peraturan badan No 31 tahun 2018 tentang label pangan Olahan, untuk menggantikan Surat Edaran (SE) No. HK.06.5.51.511.05.18.200 tahun 2018 tentang label dan iklan pada  produk susu kental dan analognya. SE tersebut mengatur tentang visualisasi iklan, label, dan waktu tayang iklan. 

Selanjutnya, pada 19 Oktober, BPOM menguatkan SE tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Badan POM NO. 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam peraturan yang ditandatangani oleh Kepala BPOM ini salah satunya mengatur tentang SKM. 

Pada asal 54 butir 1, menyebutkan, pada kemasan atau label harus tertulis kalimat: “Perhatikan!”, “Tidak untuk menggantikan  Air Susu Ibu”, “Tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan”, “Tidak dapat digunakan sebagi satu-satunya sumber gizi”.

Sedangkan pasal 67 mengatur larangan bahwa susu kental dan  analognya disajikan sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan  sebagai satu-satunya sumber gizi.

"Tak hanya itu, aturan lainnya adalah melarang visualisasi yang semata- mata menampilkan anak dibawah usia 5 (lima) tahun pada SKM," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement