Selasa 07 Aug 2018 10:52 WIB

Profesor Unpad Teliti Metode Baru Obati Radang Selaput Otak

Selama ini pengobatan meningitis TB mengacu pada aturan pengobatan TB paru-paru.

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Gita Amanda
Penyakit meningitis menimbulkan memar dan ruam bintik berwarna ungu atau merah.
Foto: ABC
Penyakit meningitis menimbulkan memar dan ruam bintik berwarna ungu atau merah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Profesor Rovina Ruslami, melakukan penelitian untuk mengembangkan metode baru mengobati pasien penderita penyakit meningitis tuberkulosis (TB) atau tuberkulosis yang menyerang selaput otak. Metode yang dikembangkannya adalah dengan menambah dosis dari obat yang selama ini ditetapkan.

Profesor Rovina mengatakan penyakit radang selaput otak ini lebih berbahaya dibanding TB yang menyerang paru-paru. Data menunjukkan, dari 10 pengidap meningitis TB, sebanyak 5 -7 jiwa tidak dapat terselamatkan.

Menurut guru besar selama ini pengobatan meningitis TB mengacu pada aturan pengobatan TB paru-paru. Ini disebabkan, belum ada dasar penelitian mengenai pengobatan meningitis TB secara global, sehingga acuannya masih mengikuti dosis pengobatan TB paru-paru.

“Sifat dari selaput otak itu sangat susah dilewati obat. Hanya 10 persen yang bisa menembus selaput otak. Kalau dia cukup dosisnya di paru-paru, jelas tidak cukup untuk di otak,” kata Profesor Rovina seperti dikutip di laman Unpad.

Selama bertahun-tahun, Profesor Rovina bersama peneliti lainnya melakukan penelitian mengenai pengobatan meningitis TB. Ia berfokus pada penggunaan obat rifampisin, obat utama untuk TB paru-paru yang dinilai sangat kuat tetapi lebih ramah efek sampingnya dibanding obat TB lainnya.

Berdasarkan kasus sedikitnya obat yang bisa menembus selaput otak, Rovina mengeksplorasi peningkatan dosis rifampisin pada penderita meningitis TB. Tentunya, eksplorasi ini dilakukan kajian yang mendalam dan hati-hati, mengingat proses uji klinik ini melibatkan manusia.

“Uji klinik ini merupakan penelitian tertinggi levelnya dalam penelitian dan tidak main-main. Itu dikaji dengan ketat oleh komite etik dan badan khusus yang mengawasinya,” ujarnya.

Hampir delapan tahun Rovina melakukan uji klinik ini. Uji dilakukan kepada pengidap meningitis TB secara langsung. Pemberian rifampisin dengan dosis yang ditingkatkan sedikit demi sedikit ini tidak bisa secara oral atau diminumkan kepada pasien. Ini disebabkan, seluruh pasien meningitis TB hampir dipastikan berada dalam kondisi tidak sadar.

“Kita lakukan secara injeksi, diberikan melalui infus,” jelasnya.

Namun, kehati-hatian ini berbuah baik. Peningkatan dosis rifampisin sedikit demi sedikit ternyata menekan angka kematian akibat meningitis TB hingga setengahnya. Hingga saat ini, penelitian yang dilakukan Rovina berhasil menaikkan dosis menjadi tiga kali lipat dari dosis yang selama ini ditetapkan.

Guru besar bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi ini menuturkan, peningkatan dosis rifampisin ternyata tidak menimbulkan efek samping yang signifikan. Hasil penelitiannya, efek samping pasien yang mendapat rifampisin dosis tinggi ternyata sama dengan orang yang dapat dosis biasa.

Dalam melakukan penelitian ini, Rovina tidak sendiri. Dengan dibimbing Profesor Tri Hanggono, bersama Dokter Ahmad Rizal Ganiem, Sp.S(K), PhD, tim dari Departemen Neurologi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, serta tim peneliti dari Radboud University Medical Nijmegen, Belanda, Prof. Rovina melakukan penelitian ini.

Penelitiannya ini pun mendapat hibah dari BOPTN Unpad untuk penelitian kedua, serta hibah internasional dari PEER Health dari Amerika Serikat dan PSKLN Kemenristekdikti untuk penelitian ketiga. Dalam waktu dekat, tim peneliti berkolaborasi dengan konsorsium meningitis TB internasional akan melakukan penelitian dalam skala besar.

Penelitian yang melibatkan lima negara, yaitu Uganda, Afrika Selatan, Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia ini didanai penuh oleh Badan Riset Medis  atau Medical Riset Council (MRC) di Inggris. Jika hasil penelitian besar itu berhasil dan tetap aman, metode pengobatan meningitis TB akan berubah.

Harapannya, temuan Profesor Rovina dan tim ini bisa diajukan sebagai rekomendasi panduan pengobatan meningitis TB kepada Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement