REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa obat umum yang mengandung valsartan ditarik di Amerika Serikat pada pekan lalu. Alasannya, ada 'ketidakmurnian' pada obat untuk mengatasi tekanan darah tinggi dan gagal jantung itu yang justru berpotensi menyebabkan risiko kanker.
Berdasarkan uji laboratorium, ketidakmurnian disebabkan senyawa kimia N-nitrosodimethylamine atau NDMA yang diklasifikasikan sebagai zat karsinogen. Akan tetapi, tidak semua obat generik yang mengandung bahan tersebut ditarik kembali dari peredaran.
"Kehadiran NDMA sangat tidak terduga dan agaknya terkait dengan perubahan cara produksi zat aktifnya. Tim kami juga bekerja keras memastikan kebutuhan terapi pasien terpenuhi," ujar Komisioner Administrasi Makanan dan Obat AS, Dr Scott Gottlieb.
Baca: 22 Negara Tarik Obat Jantung Valsartan dari Peredaran
Aksi FDA dilakukan setelah 22 negara lain memutuskan penarikan 2.300 valsartan yang beredar. Mereka adalah Jerman, Norwegia, Finlandia, Swedia, Hongaria, Belanda, Austria, Irlandia, Bulgaria, Italia, Spanyol, Portugal, Belgia, Prancis, Polandia, Kroasia, Lithuania, Yunani, Kanada, Bosnia Herzegovina, Bahrain, dan Malta.
Menyikapi penarikan itu, para pakar meminta pasien yang selama ini mengonsumsi valsartan melakukan beberapa hal. Pertama, menyadari bahwa tidak semua obat yang mengandung valsartan ditarik karena kasus NDMA. Masih ada obat yang beredar dan boleh dikonsumsi.
Salah satunya, obat-obatan yang mengandung valsartan dan dikombinasikan dengan amlodipine. Artinya, pasien yang rutin mengonsumsi valsartan tidak seharusnya menghentikan pengobatan tetapi cukup beralih pada alternatifnya sesuai petunjuk dokter.
Pasien yang mengganti valsartan dengan obat lain perlu melakukan pengecekan tekanan darah dengan cermat. Tekanan darah tiap pasien bisa merespons berbeda terhadap obat baru sehingga dosisnya perlu disesuaikan di bawah bimbingan penyedia layanan kesehatan.
"Setiap kali mengubah atau menyesuaikan obat tekanan darah baru, saya merekomendasikan agar pasien menyimpan catatan tekanan darah mereka dan waktu pengukuran dilakukan," kata Dr. Erin Michos, profesor madya di Johns Hopkins Medicine, dikutip dari CNN.