Kamis 28 Jun 2018 04:04 WIB

Pemanis Buatan Aspartam, Perlukah Dihindari?

Ilmuwan menemukan setidaknya tiga efek samping aspartam.

Rep: Adysha Citra R/ Red: Indira Rezkisari
Pemanis buatan pengganti gula.
Foto: flickr
Pemanis buatan pengganti gula.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aspartam merupakan pemanis buatan rendah kalori yang banyak digunakan dalam berbagai produk makanan maupun minuman. Terlepas dari kepopulerannya, penggunaan aspartam juga menuai kontroversi karena dinilai memiliki efek samping yang merugikan kesehatan.

Berdasarkan beberapa penelitian terbaru, aspartam setidaknya memiliki tiga efek samping pada berat badan, nafsu makan dan metabolisme. Berikut ini adalah ketiga efek samping tersebut seperti dilansir Medical News Today.

Efek Samping Terhadap Berat Badan
Aspartam memiliki kandungan kalori yang hampir sama besar dengan gula biasa, yaitu 4 kalori per gram. Perbedaannya, aspartam memiliki rasa manis 200 kali lebih kuat dibandingkan gula sehingga penggunaan aspartam untuk menghasilkan rasa manis tidak perlu sebanyak gula biasa. Karena sifat ini, aspartam kerap digaungkan sebagai gula pengganti yang dapat membantu proses penurunan berat badan.

Faktanya, penelitian pada 2017 lalu menunjukkan bahwa kalori rendah pada pemanis buatan seperti aspartam, sukralosa dan steviosida tidak terbukti efektif dalam pengelolaan berat badan. Sebaliknya, pemantauan selama beberapa tahun pada partisipan menunjukkan bahwa asupan pemanis buatan secara rutin berkaitan dengan peningkatan berat badan serta lingkar pinggang.

Partisipan yang mengonsumsi pemanis buatan di beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan massa indeks tubuh atau MIT. Padahal, MIT yang tinggi berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit metabolik. Studi pada 2017 lalu juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mengonsumsi pemanis buatan secara rutin memiliki risiko lebih besar mengalami penyakit jantung, diabetes dan stroke.

Efek Samping Terhadap Nafsu Makan
Aspartam dan pemanis tak bernutrisi lain dapat memberi efek meningkatkan nafsu makan. Nafsu makan yang besar berkaitan dengan peningkatan asupan makanan.

Dalam jurnal Trends in Endocrinology and Metabolism pada 2013, sebuah studi terhadap binatang mengungkapkan bahwa pemanis buatan dapat meningkatkan nafsu makan dengan cara menganggu proses pensinyalan di otak yang biasa terjadi ketika mengonsumsi makanan dengan kalori lebih besar. Rasa manis biasanya memberi sinyal kepada tubuh bahwa makanan sedang memasuki usus. Tubuh akan memiliki ekspektasi untuk menerima kalori dan mengirimkan sinyal untuk berhenti makan dengan memunculkan rasa kenyang.

Saat mengonsumsi pemanis buatan, proses ini juga terjadi. Hanya saja tubuh mendapatkan kalori yang lebih sedikit dari yang ekspektasi. Jika terjadi secara berulang, tubuh akan melupakan hubungan antara rasa manis dan kalori sehingga nantinya makanan berkalori tinggi tak lagi akan memicu tumbulnya rasa kenyang. Kondisi ini akan memicu terjadinya makan berlebih.

Efek Samping Terhadap Metabolisme
Proses yang menganggu kontrol nafsu makan dalam konsumsi aspartam juga dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit metabolik, seperti diabetes tipe 2. Penelitian pada 2016 menunjukkan bahwa konsumsi pemanis buatan dalam jangka panjang dapat mengganggu keseimbangan dan keragaman bakteri yang tinggal di dalam usus.

Pada penelitian terhadap binatang, gangguan seperti ini dapat memicu terjadinya intoleransi glukosa. Intoleransi glukosa merupakan salah satu faktor risiko dari diabetes tipe 2.

Penelitian lain pada 2016 juga menunjukkan bahwa aspartam berkaitan dengan intoleransi glukosa yang lebih besar pada orang obesitas. Akan tetapi efek yang sama tidak ditemukan pada orang yang memiliki berat badan sehat. Penelitian ini menunjukkan bahwa asupan aspartam secara berkala dapat meningkatkan risiko intoleransi glukosa, khususnya pada orang yang sudah kelebihan berat badan.

Efek Samping Lain
Laporan selama beberapa dekade terakhir mengklaim bahwa aspartam memicu atau meningkatkan risiko beragam masalah kesehatan. Beberapa di antaranya adalah sakit kepala, kejang, depresi, ADHD, penyakit Alzheimer, multiple sclerosis, kanker, lupus dan cacat bawaan. Namun belum ada bukti ilmiah yang cukup untuk membuktikan bahwa aspartam benar-benar berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan ini.

Orang-Orang yang Perlu Menghindari Aspartam
Secara umum, konsumsi pemanis buatan aspartam tidak dilarang di banyak negara. Organisasi seperti WHO, EFSA hingga FDA juga menyatakan aspartam masih tergolong aman jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu.

Asupan aspartam perhari yang masih dinyatakan aman menurut EFSA adalah 40 mg per kg berat badan. Sedangkan menurut FDA, auspan aspartam yang masih tergolong aman adalah 50 mg per kg berat badan.

Meski penggunaan aspartam dalam jumlah terbatas dinyatakan aman, ada beberapa kelompok orang yang sebaiknya menghindari konsumsi aspartam. Salah satunya adalah orang yang menderita penyakit gangguan metabolik Phenylketonuria (PKU).

Penderita PKU tidak dapat memetabolisme kandungan phenylalanine dari makanan dan minuman dengan baik. Phenylalanine merupakan satu dari tiga senyawa yang digunakan dalam membuat aspartam. Penderita PKU perlu memantau asupan phenylalanine dari makanan dan minuman dengan baik agar tingkat asupan phenylalanine tidak sampai pada kadar yang membahayakan.

Penderita gangguan saraf tardive dyskinesia (TD) juga perlu menghindari asupan aspartam. Beberapa penelitian menyatakan bahwa Tardive phenylalanine dapat memicu terjadinya pergerakan otot yang dikategorikan sebagai TD.



Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement