REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pola makan tinggi garam tak hanya dapat memicu terjadinya tekanan darah tinggi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa asupan garam yang tinggi dapat berakibat fatal bagi bakteri baik di dalam usus.
Bakteri baik dalam usus yang dapat terpengaruh oleh pola makan tinggi garam adalah jenis Lactobacillus. Penelitian pada tikus percobaan menunjukkan bahwa pola makan tinggi garam dapat menghancurkan salah satu jenis Lactobacillus dalam usus tikus percobaan tersebut.
Di samping itu, tikus percobaan juga diketahui memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dan jumlah sel TH17 yang meningkat. Sel HT17 merupakan sel yang memicu terjadinya inflamasi.
Tikus percobaan juga menunjukkan gejala neurologis menyerupai MS yang dikenal sebagai encephalomyelitis. Gejala encephalomyelitis dan jumlah sel TH17 dapat turun kembali setelah tikus mendapat terapi probiotik dari Lactobacillus. Cara ini juga dapat menstabilkan kembali tekanan darah tikus yang sebelumnya meningkat.
Tim peneliti lalu melakukan replikasi penelitian pada 12 manusia sehat. Mereka mendapatkan 6 gram asupan garam tambahan setiap hari selama dua minggu. Tambahan garam ini membuat asupan garam harian mereka menjadi dua kali lipat dari seharusnya.
Setelah dua pekan, tim peneliti menemukan bahwa Lactobacillus pada microbiome sebagain besar peserta telah tereliminasi. Microbiome merupakan ekosistem organisme yang hidup di dalam sistem pencernaan. Sama seperti tikus, para partisipan juga memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dan peningkatan jumlah sel TH17.
Tim peneliti menilai studi lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami bagaimana kesehatan usus dapat mempengaruhi kesehatan pada sistem tubuh lain. Salah satunya untuk mengetahui apakah probiotik dapat bermanfaat untuk menerapi kondisi terkait kesehatan kardiovaskular, salah satunya tekanan darah tinggi.
"Kita perlu mulai melihat mukroba usus kita sebagai target yang layak untuk mengobati kondisi yang kita tahu diperparah oleh garam, seperti tekanan darah tinggi dan inflamasi," ungkap ketua peneliti Prof Dominik N Muller, seperti dilansir Medical News Today.