REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Muslim memiliki tradisi khusus setiap Lebaran tiba, yakni bermaaf-maafan. Momen ini bisa menjadi salah satu pembelajaran penting yang bisa ditanamkan kepada anak usia dini.
Menurut Psikolog klinis dari Personality Development Center, Firman Ramdhani, hakikat memaafkan adalah sudah move on, tidak mengungkit, dan tidak ada keinginan membalas. Karenanya, orang tua perlu melatih pola pikir seorang anak, , terutama di usia keemasan, untuk meminta maaf dan memaafkan. Melatihnya pun bisa dilakukan kapan saja, tidak harus saat Lebaran saja.
"Anak berantem sama adiknya, dilatih memaafkan, dilatih pola pikirnya. Ditanya kenapa kamu marahin adik? Apa adik udah bisa diajak ngobrol? Adik ngerti nggak dia rusakin mainan kamu atau cuma mau ajak main? Itu dilatih supaya dia bisa berpikir lebih logis atau rasional," ujar Firman menjelaskan saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.
Sebaliknya, apabila anak melakukan kesalahan juga harus dilatih untuk meminta maaf. Maka konsep maaf-memaafkan tertanam sejak dini. Proses pelatihan pola pikir tidak hanya saat pengasuhan, melainkan dalam perjalanan hidup, bisa dari guru, teman-teman, tapi yang lebih mudah ketika masih kecil mendapat pembelajaran dari orang tua.
Sifat mampu memaafkan bukan berasal dari bawaan, melainkan karena pembelajaran dari awal pengasuhan saat golden age (usia keemasan). Selain itu, bisa dari pembelajaran sepanjang hidup seseorang, karena manusia bisa berubah. Pembelajaran inilah yang bisa membuat seseorang lebih mudah memaafkan.
Mudah dan sulitnya memaafkan sangat bergantung pada pribadi masing-masing. Tidak bisa setiap orang, variabel memiliki bobot yang sama. Contohnya, jika seorang anak dilatih selalu rapi, menjaga mainannya, maka ketika temannya merusak barangnya, hal itu bisa jadi masalah besar. Tapi ada juga yang menganggap itu bukan masalah besar, karena anak sejak dini dilatih sembrono, tidak telalu menjaga barangnya.