Selasa 08 May 2018 22:19 WIB

Tren Penderita Thalassemia di Indonesia Meningkat

Thalassemia merupakan penyakit berbeban biaya rawat inap tertinggi

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Tim dokter memasang jarum infus kepada penderita thalassemia di Rumah sakit Zainal Abidin, Banda Aceh.
Foto: Antara
Tim dokter memasang jarum infus kepada penderita thalassemia di Rumah sakit Zainal Abidin, Banda Aceh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat tren penyakit kelainan darah Thalassemia di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Asjikin Iman Hidayat Dachlan mengutip data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007, sebanyak delapan provinsi dengan prevalensi Thalassemia lebih tinggi dari prevalensi nasional.

Yaitu, Provinsi Aceh (13,4 persen), DKI Jakara (12,3 persen), Sumatera Selatan (5,4 persen), Gorontalo (3,1 persen), Kepulauan Riau (3,0 persen), Nusa Tenggara Barat (2,6 persen), Maluku (1,9 persen), dan Papua Barat (2,2 persen). Sementara berdasarkan data YTI dan POPTI 2014, dari hasil skrining pada masyarakat umum dari tahun 2008 2017, didapatkan pembawa sifat sebanyak 699 orang (5,8 persen) dari 12.038 orang yang diperiksa sedangkan hasil skrining pada keluarga Thalassemia (ring 1) selama 2009-2017 didapatkan sebanyak 1.184 orang (28,61 persen) dari 4.137 orang. Sedangkan berdasarkan data Rumah Sakit Cipto Manfunkusumo (RSCM), sampai dengan Oktober 2016 terdapat 9.131 pasien thalassemia yang terdaftar di seluruh Indonesia.

"Jadi kalau melihat grafik memang Thalassemia mengalami peningkatan cukup tajam," ujarnya. Tren meningkatnya Thalassemia membuat pembiayaan kesehatan untuk tata laksana thalassemia menempati posisi kelima diantara penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, kanker, ginjal, dan stroke sebesar Rp 217 miliar di 2014 menjadi Rp 444 miliar di 2015. Kemudian meningkat lagi menjadi Rp 485 miliar di 2016 dan menjadi Rp 376 miliar sampai dengan September 2017.

"Penyakit thalassemia termasuk dalam beban biaya rawat inap tertinggi dalam Penyakit Tidak Menular. Jumlah kunjungan pasien Thalasssemia hingga September 2017 mencapai 420.393 orang," katanya.

Meski penyakit ini belum bisa disembuhkan dan harus transfusi darah seumur hidup, kata dia, Thalassemia dapat dicegah dengan mencegah pernikahan sesama pembawa sifat Thalassemia.

"Oleh karena itu, deteksi dini (skrining) sangat penting untuk mengetahui status seseorang apakah dia pembawa sifat atau tidak, karena pembawa sifat Thalassemia sama sekali tidak bergejala dan dapat beraktivitas selayaknya orang sehat," ujarnya.

Ia menyebut, idealnya skrining dilakukan sebelum memiliki keturunan yaitu dengan mengetahui riwayat keluarga dengan thalassemia dan memeriksakan darah untuk mengetahui adanya pembawa sifat thalassemia sedini mungkin. Sehingga pernikahan antar sesama pembawa sifat dapat dihindari. Hal ini harus di kampanyekan kepada masyarakat melalui berbagai media komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE).

Dalam rangkaian Hari Thalassemia Sedunia 2018, ia menyebut Kemenkes telah menyelenggarakan Sosialisasi dan Skrining Thalassemia pada Anak Sekolah di Pandeglang dan Garut dengan total murid yang diskrining sebanyak 240 orang dan akan melakukan Sosialisasi dan Skrining Thalassemia pada Anak Sekolah di Jakarta Barat pada bulan Mei in dan dilanjutkan dengan Sosialisasi Thalassemia untuk masyarakat awam serta promosi melalui media cetak dan elektronik.

"Diharapkan dengan peringatan Hari Thalassemia Sedunia 2018, dapat meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap penyakit thalassemia," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement