REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Iklim tropis di Indonesia menyebabkan rentan terkena berbagai penyakit termasuk infeksi cacing. Sekitar 24 persen orang di dunia menderita infeksi cacingan dan umumnya menyerang anak-anak. Di Indonesia, menurut Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) selama 2015 prevalensi penderita cacingan sebanyak 28,12 persen. Namun masih banyak sebenarnya di daerah yang berada di atas 50 persen.
Banyak orang tua sering meremehkan bahkan mengabaikan penyakit infeksi cacing dan menganggap kondisi tersebut adalah hal yang lumrah. Padahal cacingan dapat menyebabkan dampak buruk pada tumbuh kembang anak dan bahkan berdampak buruk pada tingkat IQ anak. Selain itu, anak cacingan juga bisa kekurangan gizi karena semua nutrisi diserap oleh cacing akan membuat perkembangan fisik anak menjadi terganggu.
Infeksi cacing yang berulang jika dialami pada anak bisa menyebabkan gangguan gizi dan berujung pada kegagalan pertumbuhan atau stunting (fisik anak menjadi lebih pendek dan kecil dari teman seusianya). Cacing dapat masuk ke dalam tubuh manusia karena adanya kontak langsung antara kulit dengan tanah yang terkontaminasi larva atau telur cacing. Di dalam tubuh manusia, cacing akan berkoloni dan berkembang biak di usus lalu menyerap nutrisi yang masuk ke dalam tubuh seperti karbohidrat dan protein.
"Alhasil anak mengalami defisiensi nutrisi, anemia, bahkan membuat stunting," jelas dr. Juwalita Surapsari, M.Gizi, Spesialis Gizi Klinis pada media briefing, Edukasi Mengenai Infeksi Cacing dan Hubungannya Terhadap Gangguan Gizi yang Berdampak Stunting di Jakarta, Jumat (20/4).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ), dr Elizabeth Jane Soepardi, MPH, DSc, menambahkan terkait dengan stunting ada dua dampak cacingan yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek yang disebabkan oleh cacingan adalah tubuh akan kekurangan zat besi yang sangat penting dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin.
Di dalam tubuh hemoglobin berfungsi sebagai alat angkut oksigen dari usus ke seluruh organ tubuh. Apalagi tubuh kekurangan zat besi, maka seorang anak akan mengalami anemia atau penyakit kekurangan darah. Hal ini dapat terjadi akibat cacing yang kerap berkembang biak dan berkoloni didalam usus mengambil nutrisi. Cacing juga akan menggigit dinding usus dan menghisap darah yang keluar ke dalam rongga usus.
Kekurangan gizi atau malnutrisi merupakan dampak jangka panjang dari infeksi cacingan pada anak. Kondisi malnutrisi yang dibiarkan dalam waktu yang lama akan mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mengal anak. Perlu diingat bahwa cacingan yang dibiarkan dalam waktu yang lama selain menyebabkan malnutrisi juga mengakibatkan penururanan sistem imunitas anak sehingga anak akan mudah sakit.
Seorang anak yang mengalami kekurangan gizi secara terus menerus dan stunting juga dikhawatirkan memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan produktivitasnya yang rendah. Kondisi ini tentu akan menghambat anak tersebut meraih masa depan lebih baik.
Pada beberapa kasus juga dapat menyebabkan kematian pada anak. Kematian anak akibat cacingan biasanya dikarenakan sudah terlalu banyaknya cacing di dalam tubuh si kecil, hingga membuat cacing menjelajahi organ tubuh yang lain seperti paru-paru dan lainnya.
Secara sederhana, lanjut Juwalita, masalah stunting adalah ketika tinggi badan anak tidak sama dengan anak-anak seusianya. WHO menyebutkan anak masuk kategori stunting kalau tinggi badannya berada di level minus 2. Di dunia, 1 dari 4 anak mengalami stunting dan di negara berkembang 1 dari 3 anak mengalami stunting.
Bagaimana dengan Indonesia? "Data Riskesdas pada 2013 menyebutkan prevalensi infeksi cacing pada anak adalah 37,2 persen. Dari data Riskesdas ini artinya, 1 dari 3 anak terkena stunting," jawab Juwalita. Angka ini terus meningkat dibanding tahun 2007 yang prevalensinya 36,8 persen dan pada 2010 yang prevalensinya 35,6 persen.