REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini Selasa (20/3). Google Doodle memperingati hari lahirnya Usmar Ismail, seorang pionir dalam dunia perfilman Indonesia. Tahun ini diperingati sebagai hari lahirnya yang ke-97. Dikutip dari laman Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud, Usmar Ismail merupakan sutradara Indonesia yang namanya mencuat di era 1950 sampai 1960-an.
Usmar Ismail merupakan putera Minang yang lahir pada 20 Maret 1921. Ia dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi pelopor dalam dunia perfilman Tanah Air. Sebelum terjun ke dunia layar lebar, Usmar Ismail pernah menjadi tentara pada masa pendudukan Belanda.
Karyanya yang berjudul Pedjoang (Fighters for Freedom) melaju ke panggung internasional dengan ikut serta dalam Moscow International Film Festival ke-2 pada 1961. Tokoh utama film ini, yang diperankan Bambang Hermanto, berhasil meraih penghargaan pada ajang tersebut.
Selama kariernya sebagai seorang sineas, Usmar Ismail mendirikan PERFINI Film pada pertengahan 1950-an. PERFINI menjadi studio film pertama yang ada di Indonesia. Dengan memegang prinsip selalu mempertahankan mutu, ia telah menghasilkan sederet karya yang membawa pengaruh dalam industri perfilman Tanah Air.
Karya film Usmar Ismail antara lain adalah Darah dan Do'a (1950), Enam Djam di Yogya (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), dan Tamu Agung (1955). Melalui filmnya yang berjudul Darah dan Do'a, Usmar Ismail mendapat tanggapan yang baik dari kritikus dan dunia kesenian. Ia dianggap sebagai tokoh pembaharu seni film Indonesia.
Film berikutnya yang menggambarkan perubahan sosial dan mendapat sukses komersil berjudul Lewat Djam Malam (1954) yang dibuat berdasarkan skenario karya Asrul Sani. Melalui film ini, Usmar Ismail berhasil mengubah permainan artis dan aktor A.N. Alcaf, Dahlia, dan Bambang Hermanto ke dalam gaya akting yang terbebas dari gaya sandiwara sehingga menghasilkan akting yang kreatif. Kala itu, gaya sandiwara memang sangat memengaruhi akting film Indonesia.
Namun, sindiran-sindiran politik yang disajikan Usmar belum bisa ditangkap penonton film Indonesia pada masa itu. Sedangkan penonton elit tidak mau menontonnya. Sikap dan pandangan Usmar Ismail inilah yang dianggap membawa PERFINI pada kebangkrutan. Pada 1957 kompleks studio filmnya diambil alih bank.
Untuk menolong kondisi perusahaannya itu, ia terpaksa membuat beberapa film hiburan yang sukses sebagai film komersil. Film-film tersebut adalah Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1957), dan Asmara Dara (1958).
Usmar Ismail meninggal di Jakarta pada 2 Januari 1971. Sebagai penghargaan terhadap ketokohannya dalam dunia film, pemerintah DKI Jakarta mendirikan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang diresmikan penggunaannya pada 20 Oktober 1975.