Selasa 27 Feb 2018 15:56 WIB

Program Nasional Vaksin HPV Ditargetkan Terlaksana di 2019

Kanker serviks merupakan satu-satunya kanker yang dapat dicegah dengan vaksin.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
 vaksin kanker serviks
Foto: EPA / MICK TSIKAS
vaksin kanker serviks

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) mendorong program nasional vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks segera dilaksanakan pemerintah, mengingat kondisinya sudah mendesak. Data Globocan 2012, menunjukkan setiap satu jam perempuan meninggal karena kanker serviks di Indonesia. Kematian seorang perempuan yang juga seorang ibu akibat kanker serviks bukan sekadar hilangnya satu nyawa, namun membawa dampak sosial bagi anak dan keluarga yang ditinggalkan.

Hal itu ditegaskan Ketua HOGI Prof dr Andrijono SpOG(K) di hadapan anggota Komisi IX DPR RI dalam  Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IX, awal Februari. Skrining atau deteksi dini kanker serviks dengan tes pap smear dan IVA sampai saat ini tidak dapat menurunkan angka kejadian kanker serviks. Apalagi cakupan deteksi dini kanker serviks baru mencapai 11 persen, yaitu 4 persen dengan IVA dan 9 persen dengan pap smear.

Kanker serviks adalah satu-satunya kanker yang dapat dicegah dengan vaksin. Vaksinasi HPV sangat efektif mencegah infeksi Human Pappiloma Virus (HPV) sebagai penyebab utama kanker serviks dan kanker mulut, tenggorokan  dan kanker penis. Lebih dari 70 persen kanker serviks disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18.

HOGI menganjurkan vaksin diberikan untuk usia 9 sampai 55 tahun, namun lebih efektif untuk anak usia 9 sampai 13 tahun, sebelum si anak terpapar HPV.  Risiko tertular HPV pada perempuan di Indonesia semakin tinggi karena pernikahan usia dini yang masih tinggi. Sayangnya vaksin HPV belum dijadikan program nasional. Baru sebagian kecil wilayah yang sudah melakukan yaitu propinsi DKI Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.

"Bahkan di Yogyakarta hanya dua Kabupaten yaitu Kulon Progo dan Gunung Kidul. Segera menyusul Manado dan Makasar. Kalau vaksin diberikan secara sporadis di wilayah-wilayah kecil seperti ini tidak akan efektif. Program nasional vaksin HPV sudah sangat mendesak," ujar Andrijono.

HOGI berharap  pembahasan anggaran Kementerian Kesehatan di tahun 2018 ini sudah memasukkan program nasional vaksin HPV sehingga nanti program nasional vaksin HPV sudah bisa terlaksana di tahun 2019. "Paling lambat tahun 2020 harus sudah terlaksana," ujar Andrijono.

Irma Chaniago, anggota Komisi IX DPR-RI, sepakat dengan usulan tersebut. Komisi IX sangat mendukung vaksin HPV menjadi program nasional. "Kami sudah menyampaikan juga kepada Menteri Kesehatan agar tidak lagi menunda program ini. Biaya untuk program vaksin nasional jauh lebih murah dibandingkan biaya pengobatan, yang sangat membebani BPJS," ujarnya.

Saat ini harga vaksin HPV di praktek dokter pribadi sekitar Rp 750 ribu. Dibutuhkan minimal dua kali suntikan dengan jarak tiga bulan, sehingga biaya sekitar Rp 1,5 juta, belum termasuk biaya jasa dokter dan administrasi rumah sakit.

Jika dijadikan program nasional, harganya akan jauh lebih terjangkau. Propinsi DKI yang sudah melakukan program ini hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu sekali suntik. "Kalau menjadi program nasional, tentu harga akan turun lagi," jelas Irma.

Prof Andrijono menambahkan tanpa vaksinasi maka terjadi lebih banyak kematian perempuan karena kanker serviks. Saat ini di Yogyakarta, daftar tunggu untuk terapi penyinaran (radioterapi) pasien BPJS bahkan sampai satu tahun. Banyak yang meninggal sebelum sempat diterapi. Daftar tunggu mengular karena hanya ada satu alat radioterapi di RSUD dr. Sardjito. Persoalan yang sama ditemukan di Semarang, Surabaya dan di wilayah lain.

"Negara di Afrika saja sudah melakukan program nasional vaksin HPV," ujar Andrijono.

Di negara-negara yang sudah menjalankan program vaksin HPV secara nasional, kejadian kanker serviks secara signifikan turun. Misalnya di Australia turun 50 persen setelah menjalankan program 10 tahun, bahkan Kanada dan Swedia turun 80 sampai 84 persen.

Hasil vaksinasi sudah bisa dilihat dalam lima tahun sejak program dijalankan. Salah satu indikasi vaksin efektif dapat dilihat dengan insiden kutil kelamin, yang juga disebabkan HPV tipe tertentu, yang biasanya ikut turun. Irma menambahkan, Komisi IX sangat aktif mendorong agar vaksin HPV dijadikan program nasional. Bahkan sejak tahun 2015, Komisi IX sudah mengusulkan perlunya vaksin HPV menjadi program nasional kepada Menteri Kesehatan dan semua fraksi setuju.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement