REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Sineas kawakan Indonesia, Garin Nugroho mengungkapkan film bertemakan pengadilan adalah impian terpendam yang ingin dibuatnya. Film bertemakan tersebut belum juga kesampaian ia buat selama 34 tahun berkarier di industri hiburan tanah air.
"Impian yang dari dulu ingin dilakukan dan belum dilakukan juga diwujudkan adalah membuat film yang bertema tentang pengadilan," katanya di Ambon, Jumat (23/2).
Garin Nugroho berada di Ambon untuk menjadi juri grand final kontes Putra Putri The Natsepa (PPTN) pada 24 Februari 2018.
Ia mengatakan pengadilan adalah tiang utama masalah penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Sudah lama ia ingin membuat film tentang itu tetapi belum juga terwujudkan.
Ide penggarapannya pun sudah terpikirkan, yakni harus sangat terperinci dan bisa menggambarkan betapa pengadilan adalah teater hidup Indonesia yang penuh drama dan tidak terbaca secara umum.
"Temanya harus betul-betul detail karena pengadilan adalah tiang dasar dari politik, sosial dan ekonomi Indonesia. Tapi itu harus riset panjang agar konsepnya benar-benar matang," ujarnya.
Dikatakannya lagi, sebagai seorang sineas yang sudah malang-melintang di industri hiburan tanah air, dirinya memiliki idealisme tersendiri, tidak ingin asal dalam berkarya, melainkan mampu membawa visi perubahan dalam masyarakat.
Selama 34 tahun berkarir, film-film yang dihasilkannya tidak melulu mengikuti pasar, tetapi mewakili tiap periode era dan peta ke-Indonesia-an. Ia memisalkan, film Guru Bangsa: Tjokroaminoto mewakili peta politik organisasi awal abad 20, lalu Soegija tentang era perjuangan di tahun 1940an dan Puisi Tak Terkuburkan yang mengisahkan masa sastra tahun 1965.
"Saya hanya membuat film yang kira-kira belum pernah saya lakukan dan membuat peta ke-Indonesia-an. Setiap film mewakili setiap periode yang berbeda dan saya menggugat sesuatu," ujarnya.
Sutradara berusia 57 tahun itu juga mengungkapkan saat ini dirinya tengah disibukan dengan dua film terbarunya, yakni Setan Jawa dan Nyai yang dibawa berkeliling dunia.
Dua film tersebut adalah bentuk dari kreasi eksperimentalnya terbarunya untuk dunia seni peran masa kini.
Setan Jawa yang merupakan film bisu hitam putih dipertontokan dengan menggunakan "live" paduan gamelan dan orkestra. Sedangkan Nyai adalah sinema yang menggabungkan konsep teater dan film. Kendati tak seperti film pada umumnya, dua film tersebut laku keras di luar negeri.
September mendatang, Setan Jawa dijadwalkan tayang di Berlin, Jerman dan diiringi oleh orkestra besar di sana. "Tahun ini adalah tahun eksperimentasi, harus ada keberanian mencari pasar baru. Dilemanya film itu tidak beredar di bioskop Indonesia," ujarnya.