Senin 12 Feb 2018 17:57 WIB

Tips Mengurangi Stres Saat Imunisasi Difteri Versi WHO

Stres sebelum dan sesudah penyuntikan tak berhubungan dengan kandungan vaksin.

Petugas Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Jakarta Barat menyuntikkan vaksin DPT (Difteri, Tetanus, dan Pertusis) ke mahasiswa Universitas Tarumanegara (UNTAR) di Jakarta, Kamis (14/12).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Petugas Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Jakarta Barat menyuntikkan vaksin DPT (Difteri, Tetanus, dan Pertusis) ke mahasiswa Universitas Tarumanegara (UNTAR) di Jakarta, Kamis (14/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Berdasarkan catatan WHO individu atau kelompok memang dapat menjadi stres dan mungkin bereaksi sebelum atau sesudah dilakukan penyuntikan jenis apapun. Namun pada dasarnya kejadian tersebut tidak berhubungan dengan kandungan vaksin atau obat yang disuntikkan.

"Pingsan (vasovagal syncope or syncope) umum terjadi pada sebagian anak-anak yang berusia di atas lima tahun atau remaja," ujar WHO dalam Global Manual on Surveillance of Adverse Events Following Immunization: WHO- 2014.

 

Jika pingsan menurut WHO, tidak memerlukan tindakan klinis apapun selain menempatkan pasien dalam posisi terlentang. Beberapa anak yang pingsan mungkin memiliki kejang-kejang (syncopal hypoxic convulsion). Kejang yang terjadi merupakan jangka pendek (tonicclonic seizure).

Tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan menjaga anak agar berbaring, menjaga pernapasan dan menempatkan anak dalam posisi miring ke kiri dengan posisi tangan kiri ditekuk yang memungkinkan paru-paru mengembang dengan leluasa. Agar tidak terjadi pingsan pascaimunisasi harus diantisipasi saat memberikan imunisasi pada remaja.

Hal ini dapat dikurangi dengan meminimalkan stres seperti menunggu giliran suntik di ruang tunggu yang nyaman, persiapan pemberian vaksin dilakukan di ruangan lain yang tidak terlihat dari ruang tunggu, dan menjaga privasi anak ketika disuntik.

Hiperventilasi dapat terjadi karena kecemasan yang berlebihan tentang imunisasi atau suntikan yang menyebabkan timbulnya gejala spesifik seperti pusing, kesemutan di sekitar bagian mulut dan tangan. Ini umum terjadi pada kampanye vaksinasi massal.

Anak-anak yang lebih muda cenderung bereaksi berbeda, dengan gejala umumnya muntah. "Tahan napas juga bisa terjadi dan berakibat pada ketidaksadaran singkat saat pernapasan dilanjutkan. Anak kecil mungkin menjerit atau lari menghindari suntikan," ungkap WHO.

Reaksi ini tidak terkait dengan vaksin, melainkan karena suntikan. Beberapa individu mungkin memiliki fobia jarum. Dalam Imunisasi berkelompok, histeria massal itu mungkin terjadi, terutama jika penerima vaksin terlihat akan pingsan atau memiliki reaksi lain seperti gatal, kelemahan anggota badan dan sebagainya.

Kadang, kasus ini mungkin memerlukan rawat inap dan bisa menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat. Informasi yang jelas tentang imunisasi dan sikap yang tenang akan mengurangi tingkat kecemasan tentang suntikan, dengan demikian mengurangi terjadinya kemungkinan histeria.

Penting untuk dicatat bahwa pingsan dapat salah didiagnosis sebagai anaphylaxis. Petugas kesehatan harus bisa membedakan kedua kondisi tersebut.

Observasi yang cermat dan penilaian klinis sangat diperlukan. Namun, jika salah perawatan kesehatan dalam mengelola adrenalin dosis tunggal (secara intramuskuler) untuk vaksinasi hanya dengan syncope, ini tidak membahayakan penerima vaksin.

"Karena itu perlu untuk mempromosikan pelatihan dan kesadaran agar petugas kesehatan dapat mengidentifikasi dan mengelola keadaan darurat medis secara tepat," tulis catatan WHO tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement