REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar psikologi asal Universitas Airlangga (Unair) Bagoes Kastolan mengungkapkan beberapa permasalahan yang membuat para siswa saat ini lebih agresif terhadap guru-gurunya. Bahkan, keagresifan siswa tersebut bisa sampai menghilangkan nyawa sang guru, seperti kasus yang terjadi di Sampang, Madura, beberapa waktu lalu.
Bagoes menjelaskan, berdasarkan psiko analisis, ada dua dorongan yang terdapat dalam jiwa manusia. Yakni eros dan thanatos. Eros merupakan dorongan hidup yang mencakup sifat-sifat mencintai, menyayangi, mengasihi, dan sebagainya. Sementara thanatos merupakan dorongan mati, termasuk di dalamnya melakukan agresi.
"Orang yang kemudian banyak agresinya berarti banyak dorongan-dorongan thanatosnya," kata Bagoes saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/2).
Bagoes melanjutkan, dorongan thanatos ini ketika tidak dibarengi oleh ego (realita) dan super ego (norma atau aturan, termasuk aturan agama), maka dorongan agresinya akan lebih liar. Dorongan agresi tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk fisik dan verbal.
"Kebetulan yang kasus di Sampang itu, diwujudkan secara fisik," ujar Bagoes.
Untuk kasus di Sampang, jelas Bagoes, kemungkinan disebabkan karena si pelaku mengalami deprivasi relatif. Yakni keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan atau kekurangan yang dirasakannya.
"Artinya segala sesuatu yang mengandung kekurangan itu menyebabkan agresi. Kekurangannya apa? Bisa kekurangan ekonomi atau materi, dan kekurangan perhatian atau kasih sayang. Kalau saya melihat dari kasusnya siswa ini, kemungkinan besar deprivasi relatifnya karena kurangnya perhatian atau kasih sayang orang tua," kata Bagoes.
Selain itu, kasus kekerasan tersebut menurutnya dipengaruhi juga sifat remaja. Dimana, siswa yang menginjak usia remaja cenderung lebih dekat kepada lingkungan sosial atau teman sebayanya, daripada dengan lingkungan keluarganya.
"Nah itu lah yang kemudian kalau keluarga nggak pandai-pandai memanfaatkan waktu untuk bisa membimbing akhlak, maka remaja itu akan terjerumus kepada pergaulan-pergaulan yang bersifat agresi," ujar Bagoes.
Apalagi, kadang kala sifat agresi tersebut dirasa para remaja sebagai eksistensi saat mencari identitas diri. Artinya, para remaja tersebut ingin menampakan kelebihannya dan menutupi kekurangan-kekurangan yang dimilikinya.
"Itu lah dia ingin menampakkan bahwa saya itu lho jagoan. Bahkan kalau lihat foto-fotonya kan ada yang menunjukan dia ikut bela diri, menunjukan jurus-jurusnya," kata Bagoes.