Rabu 24 Jan 2018 17:20 WIB

Dokter Ahli Aritmia Minim di Indonesia, Apa Dampaknya?

Dari kebutuhan 2.500 ahli, Indonesia baru memiliki 25 orang ahli aritmia.

Rep: Adysha Citra R/ Red: Indira Rezkisari
Penyakit jantung/ilustrasi
Foto: Wikipedia
Penyakit jantung/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aritmia atau gangguan irama jantung merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Diperkirakan sekitar 87 persen dari pasien yang meninggal mendadak di Indonesia mengalami aritmia. Sayangnya, keberadaan kasus aritmia di Indonesia saat ini belum diimbangi dengan jumlah dokter ahli aritmia yang memadai.

Saat ini, jumlah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Indonesia baru berkisar 1.000 orang. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa, rasio keberadaan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Indonesia adalah 1 banding 250 ribu.

"Konsultan (ahli aritmia) masih sangat sedikit, dokter jantung saja masih sangat sedikit," ungkap Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Dr dr Ismoyo Sunu SpJP(K) FIHA FAsCC dalam konferensi pers 'Overview dan Outlook Tentang Penyakit Aritmia di Indonesia Tahun 2018' bersama Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS), Rabu (24/12).

Dari sekitar 1.000 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Indonesia, jumlah subspesialis aritmia hanya 25 orang. Dengan kata lain, rasio ahli aritmia terhadap jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 1 banding 10 juta. Rasio tersebut masih jauh dari rasio ideal ahli aritmia terhadap jumlah penduduk Indonesia yaitu 1 banding 100 ribu.

"Kita butuh 2.500 ahli, sekarang masih 25 orang ahli aritmia," lanjut Ketua InaHRS dr Dicky Armein Hanafy SpJP(K) FIHA.

Prof Dr dr Yoga Yuniadi SpJP(K) FIHA FAsCC mengatakan estimasi minimal penderita fibrilasi atrium (FA) di Indonesia adalah 2,2 juta orang. FA merupakan salah satu jenis aritmia yang dapat meningkatkan risiko stroke hingga 500 persen. Yoga mengatakan sekitar 40 persen dari penderita FA akan mengalami stroke jika penyakit mereka tidak diatasi.

"Itu baru FA saja. Belum lagi ventrikel takikardi atau fibrilasi ventrikel, empat menit saja bisa menyebabkan kematian," tambah Yoga.

Kondisi-kondisi merugikan yang diakibatkan aritmia ini pada dasarnya bisa dikenali oleh para ahli aritmia. Kekurangan sumber daya manusia, dalam hal ini ahli aritmia, dapat membuat pasien aritmia di luar sana terlewatkan atau tidak tertangani dengan baik. Hal ini tentu dapat meningkatkan risiko beragam komplikasi akibat aritmia.

"Kita melewatkan sesuatu yang punya dampak besar untuk kualitas hidup masyarakat dengan kekurangan fasilitas, kekurangan SDM. Ini perlu perhatian yang lebih," terang Yoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement