REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Seorang bocah berusia 10 tahun asal negara-bagian Colorado, Amerika Serikat, bunuh diri karena mengalami perundungan (bullying) secara online. Ashawnty Davis, demikian nama anak itu, mengalami trauma setelah melihat video yang merekam dirinya sedang berkelahi dengan anak lain.
Video tersebut tersebar luas melalui media sosial. The Washington Post, Sabtu (2/12), melaporkan, Davis diketahui melakukan gantung diri pada Kamis, (16/11) silam di kamar rumahnya.
Dia sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, nyawa bocah malang itu tak tertolong. Pada Rabu (29/11) lalu, Davis dikabarkan meninggal dunia setelah dirawat dua pekan lamanya.
"Saya waktu itu menemukannya. Saya begitu ketakutan," kata Latoshia Harris, ibunda Davis.
Video yang menyebabkan Davis trauma terunggah pertama kali via aplikasi Musical.ly. Sejak saat itu, ungkap Harris, putrinya tersebut selalu tampak murung.
Musical.ly diketahui cukup populer bagi kalangan anak-anak Amerika yang sudah melek internet. Tidak seperti, umpamanya, Facebook atau Snapchat, anak kecil di bawah usia 13 tahun dapat membuat akun pada aplikasi ini.
Harris mengenang, putrinya itu bercita-cita kelak menjadi seorang pemain basket profesional. Di sekolahnya, bocah kelas lima Sekolah Dasar Sunset itu tergabung dalam tim basket secara aktif. Namun, kini semua harapan telah sirna.
Pada akhir Oktober lalu, Davis terlibat sebuah perkelahian di sekolahnya. Hal itu terjadi setelah mendiang berhadapan dengan teman sekolahnya, seorang gadis cilik, yang diketahui pernah mengolok-oloknya. Demikian penuturan sang ayah, Anthony Davis.
Terpisah, pihak perusahaan aplikasi Musical.ly telah merilis pernyataan resmi ikut berduka cita atas kepergian tragis Ashawnty Davis.
The Washington Post mengutip sebuah hasil riset tentang kecenderungan tewas akibat bunuh diri pada anak-anak Amerika Serikat. Sebelum tahun 2008, jumlah anak perempuan usia 10 sampai 14 tahun yang masuk ruang gawat darurat akibat upaya bunuh diri cukup stabil, yakni sekitar 110 orang dari total 100 ribu pasien anak.
Namun, jumlah tersebut melonjak tajam sejak meningkatnya kemudahan akses anak-anak pada aplikasi digital. Setelah tahun 2009, jumlahnya menjadi hampir 318 orang dari total 100 ribu pasien anak. Beberapa pakar menghubungkan fakta ini dengan maraknya perundungan online.