Sabtu 11 Nov 2017 05:25 WIB

Menikmati Keindahan Tenun NTT

Rep: Muhammad Hafil/ Red: Yudha Manggala P Putra
Tenun NTT Ina Ndao.
Foto: Instagram/@tenuninandao
Tenun NTT Ina Ndao.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Seulas senyum mengembang. "Silakan masuk, Pak, dan dilihat-lihat," sapa seorang ibu ramah kepada Republika saat berkunjung ke galeri dan workshop Ina Ndao di Jalan Kebun Raja II, Naikoten I, Kupang, Nusa Tenggara Timur beberapa waktu silam.

Perempuan itu bernama Dorce Luci (54 tahun), yang tak lain adalah pemilik Ina Ndao, pusat kerajinan kain tenun khas NTT di Kupang. Dia menjelaskan bahwa galeri sekaligus workshop yang letaknya jauh dari Jalan Raya itu merupakan tempat pembuatan kerajinan tenun sekaligus penjualan kerajinan khas NTT lainnya seperti alat musik sasando, tasbih cendana, dan topi khas NTT Ti'i Langga. Selain kain tenun, kerajinan tangan lainnya adalah titipan oleh para pengrajin di NTT.

Bagian depan Ina Ndao digunakan sebagai galeri. Sedangkan di bagian belakang digunakan sebagai tempat produksi kain tenun. Di sana, terdapat bahan baku seperti kain, benang, kayu, dan peralatan produksi lainnya yang masih tradisional karena pembuatannya tidak menggu na kan mesin sama sekali.  "Untuk bahan baku dari kayu, yang diambil biasanya kayu jati dan kayu bayam. Kayu jati diambil dari Pulau Timor sedangkan kayu bayam diambil dari Sulawesi," kata Dorce.

Di tempat produksi itu, ada sekitar lima orang pengrajin. Namun, sebenarnya Ina Ndao memiliki 24 pekerja lainnya yang tersebar di workshop yang letaknya terpencar-pencar.  Semua produk tenun dan kerajinan khas NTT ada di Ina Ndao. Dan, semua hasil produk itu dikerjakan oleh tenaga kerja asal NTT juga, masyarakat dari berbagai daerah di NTT. Mulai dari Timor, Rote, Sabu, Flores, Pulau Sumba, Alor, dan Lembata. Semua kain tenun ikat dari 21 kabupaten/kota di NTT ada di sini. Motif dan coraknya pun bermacam-macam.

Motif kain tenun yang dihasilkan tidak melulu dengan gaya lama. Tetapi, juga disesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun, modifikasi motif itu tidak 'keluar' dari ciri khas dan keunikan setiap daerah di NTT.

Proses pembuatan kain tenun ini dimulai de ngan membuat bola benang. Kemudian, menghani, yaitu menyusun bola-bola benang di atas mesin tenun. Alur berikutnya adalah mengikat benang menjadi sebuah motif yang dilanjutkan pewarnaan. Setelah itu, benang yang sudah diikat dibuka dan kemudian motif kembali diatur. Langkah terakhir adalah mulai menenun kain.

Harga produk tenun yang dijual di tokonya bisa sangat bervariasi. Mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung dari tingkat kesulitan pembuatan dan kerumitan motif serta warnanya. Semakin rumit dan banyak warna, maka harganya akan makin mahal. Syal tenun dihargai mulai dari Rp 15 ribu dengan lebarnya 10 cm. Ada juga yang Rp 35-40 ribu. Yang membedakan harga adalah prosesnya.

Tenun Sumba rata-rata Rp 2-3 juta karena prosesnya sulit dan bisa dikerjakan sampai dua atau tiga bulan. Paling mahal, Rp 5 juta untuk selembar kain tenun. Setiap bulan, rata-rata kain tenun yang dihasilkan mencapai 40 lembar. Semua kain tenun itu ada yang dijual di Kupang dan juga memenuhi permintaan dari luar NTT.

Menurut Dorce, kain tenun khas NTT seka rang sudah dikenal oleh masyarakat dunia. Sela ma ini kegiatan promosi berupa pameran dan festival sudah dilakukan meski belum sering. Orang mengenal tenun ikat khas NTT ini seperti orang mengenal batik dari Pulau Jawa. "Waktu zaman SBY, ada kegiatan APEC di Bali, atas prakarsa Presiden SBY, seluruh peserta yang adalah kepala negara itu mengenakan tenun ikat khas NTT, termasuk Presiden Obama," kata Dorce.

Begitupun dalam kegiatan Hari Pers Nasional beberapa waktu lalu, seluruh tamu dan wartawan yang menghadiri kegiatan mengenakan tenun ikat khas NTT. Dorce juga sudah membawa dan memperkenalkan berbagai motif tenun ikat khas NTT ini ke sejumlah daerah di luar NTT, terma suk di beberapa negara di dunia. "Dengan kondisi ini, maka hal ini menjadi peluang bagi kita untuk terus gencar memproduksi, mem promosikan dan mengembangkan tenun ikat khas NTT," kata Dorce.

sumber : Pusat Data Republika/Nina Chairani
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement